Selasa, 10 Juli 2012

Monggo: Hasil UAS Sejarah Sastra Ane gan!


1.    Dalam kesusastraan Indonesia, sejak Balai Pustaka sampai sekarang karya sastra selalu mendapat tanggapan pembaca. Tanggapan mereka selalu berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep dari periode ke periode. Kemukakan pendapat saudara terhadap fenomena hal tersebut disertai contoh kasus!
Pembicaraan mengenai kesusasteraan Indonesia tidak dapat terlepas dari periodisasi sastra Indonesia. Periodisasi adalah proses mengurutkan atau mengkategorikan beberapa karya sastra sesuai rangka waktu melalui ciri-ciri khusus tiap periode. Susunan periode-periode dikatakan seperti balok-balok batu yang dideretkan yaitu periode satu diganti periode yang lain dengan batas tegas. Akan tetapi,  hal itu tidak berlaku mutlak, periode-periode itu saling bertumpang tindih sebab sebelum periode angkatan sastra yang satu habis atau lenyap sudah timbul angkatan sastra yang lain, bahkan pada periode itu angkatan sastra yang lama masih menunjukkan kekuatannya atau integrasinya. Bahkan, bila dibuat irisan penampang pasa satu periode (sincronis cross section), mungkin dalam satu periode berdampingan tiga atau empat angkatan yang masing-masing menunjukkan ciri-ciri sastra yang berbeda. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodesasi yang satu dengan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia modern sejaktahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun ’30, tahun ’45, dan tahun ’66 sebagai tonggak – tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya berkisar pada masalah istilah dan peranan tahun 1942 dan 1950 dalam perkembangans astra Indonesia.
Menurut Sarwadi (2004:18-19), ada beberapa macam periodisasi yang pernah dikemukakan orang, yang satu berbeda dengan yang lain. Pangkal perbedaan itu terutama ialah:
1)   Tidak adanya kesamaan istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah yang biasa dipakai misalnya angkatan, periode dan generasi;
2)   Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut. Tentang apa yang disebut angkatan, banyak perbedaan pendapat. Rumusan Pramudya Ananta Tur berbeda dengan rumusan Asrul Sani, berbeda pula dengan rumusan Rachmat Djoko Pradopo, Ajip Rosidi dan sebagainya;
3)   Tidak adanya kesamaan nama yang dipergunakan untuk menyebut suatu angkatan atau suatu periode. Ada yang memakai angkat tahun, ada yang memakai nama badan penerbit, nama majalah, nama buku, dan sebagainya;
4)   Tidak adanya kesamaan sistem yang dipergunakan. Ada yang menunjuk satu angka tahun, misalnya angkatan 20, dan ada pula yang  menunjuk jangka waktu dari dua angka tahun, misalnya periode tahun ’20 hingga tahun ’30.
Hal tersebutdapatdilihatdalambeberapacontohperiodesasi di bawahini.
·      Periodisasisastra Indonesia menurut H.B. Jassin :
1.    SastraMelayu Lama
2.    Sastra Indonesia Modern
a.    Angkatan20
b.    Angkatan33 atauPujanggaBaru
c.    Angkatan45 mulaisejak 1942
d.   Angkatan66 mulaikira – kiratahun 1955
·      Periodesasisastra Indonesia menurutAjipRosidi
1.    Sastra Nusantara Klasik
(sastradariberbagaibahasadaerah di Nusantara)
2.    Sastra Indonesia Modern
a.    MasaKelahiran (MasaKebangkitan)
1.    Periodeawal – 1933
2.    Periode 1933 – 1942
3.    Periode 1942 – 1945
b.    MasaPerkembangan
1.    Periode 1945 – 1953
2.    Periode 1953 – 1961
3.    Periode 1961 – sekarang.
Sebuah karya sastra tak cuma menampakkan wajah yang sama kepada setiap pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada pembaca-pembacanya (Jauss, 1974:14; Pradopo, 2011:9).
Jauss (1974:14; Pradopo, 2011:9) mengatakan bahwa sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus, dan penulis dalam kreativitas sastra.
Adanya perbedaan tanggapan para pembaca itu disebabkan oleh apa yang disebut horison harapan atau cakrawala harapan. Setiap pembaca itu mempunyai konsep-konsep tertentu atas karya sastra disebabkan oleh pengalamannya, pendidikan sastra, dan bacaan-bacaan sastranya, kecakapan atau kemampuan pemahamannya atas norma-norma sastra dan pemahaman kehidupan (Segers, 1978:41; Pradopo, 2011:9).
Yang dimaksud dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepi pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:206). Keindahan yang sampai pembaca mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizonatau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:207).
Tiap pembaca mempunyai wujud karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang pembaca “mengharapkan” bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda.
Segers (1978:41; Pradopo, 2011:208) mengemukakan bahwa cakrawala harapan itu ditentukan oleh tiga kriteria; pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yan telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Cakrawala harapan penting untuk sebuah karya sastra. Hal ini untuk mengetahui apakah sebuah karya sastra teruji waktu atau tidak. Karya-karya yang memiliki bobot, unsure estetis, dan beberapa faktor lain yang tinggi akan tetap diperbincangkan, dibaca, ataupun dibahasoleh orang yang berada pada waktu/era berbeda. Karya-karya yang teruji oleh waktu biasanya berupa karya sastra serius. Contoh karya–karya tersebut di antaranya roman SittiNurbaya karya Marah Rusli,  Belenggu karya Armijn Pane, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar,  dan beberapa lainnya.
Novel belenggu merupakan salahs atu novel yang teruji waktu.Novel tersebut pada masa awal terbit mengalami problematika karena faktor-faktor nilai dalam masyarakat yang masih terlalu tinggi. Novel ini dilarang peredarannya karena novel ini dianggap terlalu porno. Pada masa sekarang, Belenggu tidak lagi dianggap novel yang porno karena nilai-nilai dalam masyarakat telah bergeser dari masa ke masa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa periodisasi sangat berpengaruh besar dalam hal memunculkan cakrawala harapan dari para pembaca karya sastar itu sendiri. Karena tiap periode memiliki konsep dan ciri khasnya masing-masing.

2. Apa yang saudara ketahui tentang fenomena Roman Picisan à Novel Pop! Untuk fenomena novel pop kemukakan penyebab timbulnya, tipologi, contoh-contohnya/karya beserta pengarangnya, perbedaannya dengan novel serius/sastra, bandingkan juga dengan chiklit, teenlit, momlit, dan hal-hal lain yang masih bisa/ada kaitannya dengan fenomena novel pop tersebut!
Roman adalah bentuk sejarah Eropa yang tumbuh subur sekitar abad ke-18 dan ke-19. Bentuk ini ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak dalam prosa, melainkan juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Muh Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain, banyak menulis soneta, yaitu bentuk puisi yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan Belanda.
Barulah pada tahun 1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi, yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara. Dua tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi klasik Sitti Nurbaja karangan Marah Rusli. M.Kasim menulis Muda Teruna dan Nur Sutan Iskandar dengan mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1922) (Rosidi, 1969:5).
Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan.
Seri cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam suatu seri dengan nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain.
Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasai Indonesia. Keduanya menunjuk pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau kurang berharga; walaupun istilah yang dipergunakan berbeda (stuiver = 5 sen; sepicis = 10 sen).
Roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di daerah Sumatra Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa hal penyimpangan itu selalu ada.
Sesuai dengan tulisan R. Roolvink tentang “Roman Picisan Bahasa Indonesia” yang dimuat sebagai lampiran pada buku Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru karangan A. Teeuw, maka beberapa corak seri roman picisan itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penerbitan Roman Picisan umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat ceritanya lebih banyak diarahkan pada selera pembaca. Cerita-ceritanya bersifat dramatis, kocak sesuai dengan kehendak zaman, tentang cinta yang cengeng, dan banyak pula yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat sederhana sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya.
2. Lukisan watak pelaku-pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua corak watak manusia, yaitu baik atau buruk saja, tanpa variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata sebagai berikut.
“Dipandang dari kesusastraan buku-buku itu tidaklah dapat dikatakan berhasil. Jalan ceritanya biasanya Indah, tetapi tidak mendalam sedikitpun. Orang-orang serta tabiat-tabiat yang dilukiskan samar saja dan tidak sampai diperkembangkan, jangan lagi untuk dikatakan bahwa lukisan-lukisan watak itu menurut ilmu jiwa dapat dipertanggungjawabkan, supaya gerak-gerik masing-masing pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal.”
(Teeuw, 1953:243)
3.    Persoalan ceritanya berhubungan dengan pertentangan antara kebudayaan kota modern dengan kebudayaan lama, yang dianggapnya sebagai kebudayaan kuno, kolot, tua dan sebagainya. Oleh karena itu, pada umumnya cerita-cerita roman picisan itu bermain di kota-kota besar dengan kehidupan kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan minum di restoran, menghisap rokok dengan merk yang serba mahal, pergi tamasya dan lain-lain. Demikian pula cara berhias serba modern, secara Barat dengan model-model terakhir.
4.    Sering dalam cerita disisipkan reklame atau propaganda untuk sesuatu badan usaha atau untuk barang dagangan. Dalam perkembangan tenik reklame, cara seperti itu sekarang banyak dikembangkan melalui cerita-cerita pedalaman, sandiwara radio, dan sebagainya.
5.    Komposisi cerita dan bahasa yang dipergunakan umumnya kurang terpelihara. Komposisi ceritanya sering tidak runtut, hubungan kausalitasnya tida jelas. Bahasa yang digunakan lancar, tetapi pemilihan kata, pemakaian perbandingan, dan tanda bacanya sering kurang tepat.
Menurut telaah Labrousse (1974; Teeuw, 1989:170) dalam sejarah Indonesia modern, terutama dalam hal novel, sebenarnya genre roman picisan itulah satu-satunya mata rantai periode sebelum 1965 dengan sastra “baru”dari tahun 1970-an.
Dekade 1970-an dibanjiri oleh novel populer yang benar-benar merupakan fenomena baru dalam kehidupan sastra Indonesia.  Novel pop yang dalamdekade-dekade sebelumnya ditolak oleh masyarakat “sopan”, kini justru dibaca dan dicari. Hal ini bisa kita maklumi lantaran novel pop tahun 70-an lebih bersih dan lebih baik struktur ceritanya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam decade ini muncul banyak penulis novel pop wanita, di samping juga yang pria.Novel pop kebanyakan ditulis oleh penulis-penulis baru, boleh dikatakan sedikit sekali para novelis sastra yang mau menulis karya pop. Barangkali Motinggo Busye yang berbuat demikian.
Banyak karya pop yang jauh lebih banyak mutunya dibanding dengan novel pop decade sebelumnya. Tema yang dikerjakan oleh para novelis pop tidak lagi sembarangan asal cerita jalan, tetapi kadang mereka menggara pmasalah yang benar-benar serius. Bahkan banyak dari novel pop yang merupakan protes terhadap keadaan sosial. Rata-rata novel pop menarik dan kuat struktur ceritanya. Inilah sebabnya jenis novel ini amat laris di pasaran (Sumardjo, 1982: )
Menurut Pujiharto (2010:9-10) terdapat persamaan fiksi/novel populer dan novel serius dari segi maksudnya, sama-sama berusaha menyajikan pengalaman kemanusiaan. Di dalam dua jenis novel tersebut terdapat fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana cerita. Namun, ketika seorang pembaca melakukan pembacaan, terdapat kesulitan yang berbeda dalam upaya memahami keduanya. Novel serius lebih sulit dibaca ketimbang novel populer. Untuk dapat memahami novel serius dengan baik seorang pembaca biasanya harus membaca dua tiga kali atau lebih, sedangkan untuk memahami novel  populer seorang pembaca cukup membaca satu kali saja.
Adanya perbedaan tingkat kesulitan itulah sebenarnya yang merupakan dasar pembedaan antara novel serius dan novel populer. Adapula, perbedaanantara novel popdan novel seriusantara lain:
1.    Novel pop hadir dengan cerita yang seragam dan meniru pola kehidupan sehari-hari sedangkan novel serius mengutamakan keunikan karya, kedalaman makna, dan kebaruan.
2.    Novel popular hanya sesuai dengan aktualitas jamannya sedangkan novel serius mengutamakan keabadian karya yaitu karya yang teruji waktu.
3.    Novel pop hanya mengandalkan pada daya tarik tekhnisnya saja, novelis novel pop dianggap sebagai tukang belaka karena karya yang dihasilkannya hanya merupakan hal-hal yang belaka saja.
4.    Plot bagi novel pop merupakan satu-satunya jalan utama sebagai tujuan hadirnya karya tersebut sedangkan novel serius mampu menggunakan berbagai unsure lainnya. Rata-rata novel pop hanya berkisar pada struktur cerita konvensional, bentuknya sangat mudah ditebak dengan alur seragam.
5.    Novel pop menggambarkan tokoh yang stereotipe (pada umumnya), sedangkan novle serius menggambarkan tipe tokoh. Dengan penggambaran yang stereotipe, novel populer sebenarnya hanya mengulang cerita-cerita dalam karya fiksi yang sudah ada sebelumnya.  sebaliknya, dengan menggambarkan tipe tokoh, fiksi serius menghadirkan keunikan tokoh tersebut. Di pihak lain, keunikan tipek tokoh tersebut bisa dirasakan dan kemudian bisa dipahami oleh pembaca, dimana saja dan kapan saja. Di dalam fiksi serius terkandung dua sifat sekaligus, yaitu unik dan universal.
Hadirnya chicklit, teenlit, dan momlit merupakan genre baru dari novel pop. Chicklit merupakan novel fiksi yang ditulis oleh wanita dan bercerita tentang wanita. Cerita yang biasanya dimunculkan dalam chickli tadalah kisah wanita yang mencari pasangan hidup dengan penggunaan bahasa komunikatif sehingga memudahkan pembaca.
Teenlit merupakan novel fiksi yang ditulis untuk remaja. Teenlit berisi mengenai percintaan, persahabatan, masa sekolah, dan lain-lain. Contoh dari teenlit adalah novel Cintapuccino karya Icha Rachmanti, novel Dealova karya Dian Nuranindya, dan beberapa novel lainnya.
Momlit merupakan novel populer yang dikhususkan kaum bacanya adalah seorang ibu-ibu. Novel ini menceritakan tentang kehidupan perjalanan seorang ibu, dari ketika ia akan menjadi ibu, pernikahan, membesarkan anak, karier, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Balai Pustaka memiliki peran yang cukup besar dalam proses perkembangan sastra modern terutama roman-roman/novel-novel maupun puisi. Roman-roman inilah yang memunculkan fenomena munculnya novel-novel populer.
Novel pop dan karya-karya sastra lama hanya sebagai pelipur lara pembaca/pendengarnya. Novel pop memiliki cerita yang ringan, menghibur, dan kebanyakan membicarakan tentang cinta, berbeda dengan novel serius yang lebih mengutamakan cerita yang kompleks dan padat. Alasan tersebut yang membuat novel pop lebih banyak dipilih konsumen baca pada sekarang ini meskipun novel pop tak mungkin teruji waktu.

3.    Bagaimanakah pendapat Saudara tentang pengarang wanita Indonesia dari awal hingga saat ini/bandingkan dengan pengarang pria? Uraikan pemetaan hal itu dengan disertai contoh kasus per periode dan bagaimanakah pendapat Anda! Kaitkan dengan munculnya paham feminisme!
Para pengarang wanita jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Talu, Sumatra Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Pustaka.
Sejak tahun 1970-an mulailah bermunculan pengarang wanita yang cukup banyak di banding decade-dekade sebelumnya. Bukan hanya banyak muncul namun, tetapi juga kesuburan penulisan mereka serta larisnya buku-buku mereka cukup menarik perhatian. Gejala ini lantas menimbulkan spekulasi banyak penerbit baru untuk mencetak novel-novel yang berbau Marga T atau La Rose. Bahkan sebuah penerbit di Bandung berani menterjemahkan novel-novel pengarang wanita Amerika pemenang Nobel, yakin Pearl S Buck, secara beruntun dengan nama penterjemah La Rose.
Dikatakan memang, novel-novel yang ditulis pengarang wanita kebanyakan mempersoalkan kisah cinta asmara atau masalah rumah tangga dari pasangan muda. Buku-buku romance ini antara lain ditulis oleh Marga T (Karmila, Badai Pasti Berlalu, Gema Sebuah Hati, Bukan Impian Semusim), La Rose (Wajah-Wajah Cinta, Bukan Karena Aku Tidak Mencintai ….) dan masih banyak lagi yang lain.
Munculnya begitu banyak pengarang wanita ini namoak menonjol sekali jika disbanding dengan masa-masa sebelumnya. Sekitar dekade 1930-an kita hanya mengenal dua novelis perempuan seperti yang telah disebutkan di atas yaitu Selasih (Kalau Tak Untung, Pengaruh Keadaan), Hamidah (Kehilangan Mustika), Suwarsih Djojopuspito (Manusia Bebas – yang semula berbahasa Belanda).
Kemudian di zaman Jepang dan revolusi penuh diisi novelis-novelis pria seperti Pramudya Ananta Tur dan Mochtar Lubis serta Achdiat Kartamihardja. Baru dekade 1950-an muncul novelis-novelis wanita Waluyati (Pujani), S. Rukiah (Kejatuhan dan Hati), serta NH. Dini (Hati Yang Damai).
Pada dekade 1960-an Luwarsih Pringgoadisuryo (Tati Tak Akan Putus Asa, Menyongsong Badai), Darmawan Tjokrokusumo (Nyonya), Enny Sumargo (Sekeping Hati Perempuan).
Kemunculan pengarang-pengarang wanita ini ternyata pada masa itu ternyata tidak diimbangi dengan munculnya pengarang pria. Pengarang pria yang muncul hanya Arswendo Atmowiloto, sedang yang lain penulis-penulis lama seperti Motinggo Busye dan Asbari Nurpatria Krisna. Kedua penulis terakhir ini, dimunculkan kembali oleh penerbit karena banyak menulis petualangan cinta. Sedang nama Ashadi Siregar sebagai penulis pria yang sama populernya dengan penulis-penulis wanita tadi juga banyak menulis novel dengan tema cinta asmara.
Sebab utama dari larisnya novel-novel wanita ini adalah timbulnya masa pembaca wanita terpelajar, situasi sosial politik yang relative tenang, dan masuknya teknologi modern. Kesempatan bagi kaum wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka dengan pria baru terlaksana sejak tahun 1950, masuknya teknologi modern yang juga merajai bidang hiburan mengaikbatkan lahiranya budaya massa bersifat popular, seperti timbulnya gedung bioskop, televise, radio amatir, majalah-majalah popular degan teknik mutakhir. Namun, dari fakto tersebut kondisi sosial inilah yang paling tidak bisa diabaikan yang menyangkut pertumbuhan kaum terpelajar wanita, yang memungkinkan adanya gejala baru: tumbuhnya novel-novel romance yang ditulis oleh kaum wanita sendiri.
Tahun 1990-an fenomena yang menggelinding deras sebagai sebuah gerakan baru dalam sastra Indonesia telah diperlihatkan oleh para novelis perempuan Indonesia pasca-Saman Ayu Utami. Para penulis perempuan, belakangan ini secara kuantitatif telah menggeser posisi –dan mungkin juga dominasi- novelis laki-laki. Jika NH. Dini dan Titis Basino sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya, Ayu Utami Lewat Novelnya, Saman (1998) seperti berhasil menyebarkan semacam virus yang menggelisahkan bakat-bakat terpendam penulis perempuan lainnya. Dengan kualitas narasinya yang kuat dan tema ceritanya yang memaksanya harus mengangkat persoalan seksual, posisi Saman dalam peta novel akhir dasawarsa tahun 1990-an iti menjulang sendiri tanpa tersaingi.
Selepas itu muncul Dewi Lestari lewat Supernova-nya (2001), juga berhasil menawarkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia, dengan memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Bersamaan dengan itu, muncul pula Fira Basuki yang mengawali kiprah kepengarangannya lewat novel Jendela (2001) yang ternyata merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi, Pintu (2002) dan atap (2002). Novel pertama Fira Basuki itu ternyata mendapat sambutan yang meyakinkan dari sejumlah pengamat sastra Indonesia. Kemudian di tahun 2003, misalnya Anggie D. Widowati (Langit Merah Jakarta, 2003 dan Laras, 2003) yang mengangkat masalah pada zaman Orde Baru dapat dikategorikan “tabu” dan “berbahaya karena dapat mengganggu stabilitas nasional.”
Dalam novel Maria Etty, Hayuri (2004) tokoh-tokoh yang menjadi korban politik dan terjadinya penyelewengan yan dilakukan pejabat negara lebih transparan. Pada tahun 2005 muncul Djenar Maesa Ayu dengan novel pertamanya Nayla (Gramedia, 2005), mengangkat secara ringan berbagai penyimpangan seks. Dan masih banyak lagi para novelis perempuan yang menulis tentang hal yang sama.
Demikianlah, berbagai persoalan yang sebelumnya dianggap tabu, terlarang atau hal-hal yang pada zaman Orde Baru sering dicap “berbahaya bagi stabilitas nasional” kini seperti berjejalan memasuki sejumlah novel karya para penulis perempuan. Selain kisah yang berhubungan dengan korban politik tahun 1960-an dan tema seks, tak sedikit pula penulis perempuan ini yang coba mempertanyakan kembali kedudukan dan citra perempuan menurut perspektif tradisi, kultur dan agama.
Secara leksikal, Moeliono, dkk. (1993:241; Sugihastuti, 2005:61) menyatakan bahwa feiminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Feminisme merupakan kegiatan terorganisasi yan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Geofe, 1986:837; Sugihastuti, 2005:61). Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, berarti mereka mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki selama ini. Dengan kata lain feminism merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Jika dilihat dari konsep feminisme penulis-penulis wanita dari zaman Kartini dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, di era 1970-an dan seterusnya sampai tahun 2000-an telah memperlihatkan konsep feminisme untuk memperjuangkan kaum mereka melalui tema yang diangkat dalam tulisan-tulisan mereka seperti yang telah disebutkan di atas yang secara umum berani mengangkat tema-tema yang kontroversional. Adapula contoh lain, masih dengan semangat melepaskan diri dari berbagai stigma yang sangat memojokkan kaum perempuan, Abidah el Khalieqy dalam Geni Jora (2004) mengaitkannya dengan lingkaran tradisi Jawa dan Pesantren (Islam). Meski Abidah tak secara eksplisit melakukan gugatan, ia seperti menyodorkan semacam solusi untuk menjawab problem itu, yaitu dengan menjadi sosok seorang muslimah yang cerdas, berwawasan, dan cantik setidak-tidaknya, cantik perilakunya. Hanya dengan itu, kaum lelaki akan menghargai perempuan.
Secara umum, kehadiran para penulis perempuan dalam peta novel kontemporer memperlihatkan adanya perubahan sikap dalam menempatkan posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan kemasyarkatan, yaitu hasrat untuk tidak lagi terkungkung dalam lingkup domestic. Perubahan sikap itu terungkap dari tema-tema yang diangkatnya yang berkaitan dengan lima stigma sebagai akibat dari: (1) korban politik, (2) tradisi dan kultur masyarakat, (3) problem seks, (4) tafsir agama sebagai alat legitimasi, dan (5) problem domestik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak berbeda dengan laki-laki. Namun selama ini yang mengungkung adalah tradisi dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu kesempatan bagi kaum perempuan dan atas dasar kesadaran pada kaumnya akhirnya mereka bangkit dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu asal diberi ruang dan kesempatan yang sama. Namun jangan disalahartikan konsep feminisme disini bukan berarti wanita menentang kaum laki-laki dan melupakan kodratnya sebagai perempuan.

4.    Karya sastra Indonesia terutama genre novel mengalami perkembangan yang signifikan atau boleh dikatakan luar biasa. Hal itu terlihat dengan munculnya aliran modernisme dan postmoderinsme. Uraikan dengan disertai contoh kasus (pada genre prosa-boleh cerpen ataupun novel)!
Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung risiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong. Masalahnya adalah, bahwa istilah itu di satu pihak memang telah sedemikian populer, dipihak lain senantiasa mengelak untuk bisa didefinisikan dengan memadai. Keluasan wilayah di mana istilah tersebut digunakan saja cukup mencengangkan. Ia digunakan bertebaran dimana-mana sehingga tidaklah mengherankan bila maknanya menjadi kabur, misalnya musik, seni rupa, fiksi, fotografi, arsitektur, kritik sastra, dan lain-lain.
Yang menyebabkan kekaburan makna istilah “postmodern” itu kiranya adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya. Sehubungan dengan akhiran “isme” itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas. Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.
Istilah “postmodern” diungkapkan pertama kalinya muncul di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks istilah itu pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian dibidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Di sini istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, surutnya individualisme, kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan kekuatan budaya non-Barat. Disinggung pula di sana tentan pluralisme dan kebudayaan dunia, hal-hal yang masih esensial dalam pengertian tentang postmodernisme kini.
Budi Darma mengungkapkan (2007:208) makna modernisme sebenarnya tidak hanya mengacu pada waktu, tetapi juga mengacu pada sikap mental. Maksudnya aliran modernisme ini adalah suatu sikap yang siap dalam menghadapi perubahan dengan sikap realistis dan terbuka kapan pun waktunya. Sehingga siapa pun yang saat ini tidak siap menghadapi perubahan dengan sikap realistis dan terbuka, tidak dapat dianggap modern meskipun orang itu hidup pada saat sekarang ini. Munculnya aliran modernisme dalam sejarah sastra Indonesia sebenarnya berawal sejak tahun 1920-an. Waktu itu sastrawan-sastrawan muda pada waktu itu siap untuk menulis dengan bahasa Melayu yang baik, yang kemudian telah berkembang menjadi bahasa Indonesia dan tidak lama setelah itu muncul sebuah pernyataan bangsa dalam Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa mereka berbahasa yang satu, yaitu bahasa Indonesia. Sikpa mental pemuda bangsa pada saat itulah yang disebut sebagai sikap mental modernisme. Sehingga saat itu pula lahirlah Sastra Indonesia Modern.
Novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis, yang mengisahkan tentang kehidupan jiwa seorang guru yang senantiasa hidup dalam ketakutan pada masa revolusi. Sikap berani yang ditunjukkan para pengarang angkatan ’45 itu juga merupakan suatu konsep modernisme pada masanya. Hal tersebut terus berkembang hingga akhirnya genre novel memasuki masa perkembangan yang signifikan atau bisa dikatakan luar biasa pada sekitar dekade 70-an. Pada masa itu kesusastraan mengalami masa yang subur. Jika dikaitkan dengan aliran posmo-modernisme, mungkin pada dekade inilah konsep tersebut mulai berkembang. Aliran ini berkembang untuk menciptakan iklim baru yang sebelumnya telah terpusat pada aspirasi modernisme dengan cara merubah mendongkel kemapanan dan keterpurukan dalam berbagai segi kehidupan (Darma,2007:211).
Adapula contoh lain yakni munculnya pengarang-pengarang wanita, seperti Nh. Dini, M. Katoppo, La Rose, dan Marga T. merupakan pengarang wanita dengan pandangan feminisme yang kuat. Kemunculan paham feminisme pada karya-karya sastra periode 70-an merupakan bukti adanya postmodernisme. Melalui karya sastra berbau feminisme itulah para pengarang wanita mencoba memperoleh kemapanan dalam publik. Sikap pengarang yang seperti inilah yang disebut sebagai postmodernisme.

5.    Jelaskan istilah-istilah di bawah ini!
a.    Cerpen Indonesia
Pada jaman Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara mengarang cerpen diadakan, dalam majalah-majalah yang terbit saat itu seperti Pandji Poestaka, Djawa Baru, dan lain-lain banyak diberi tempat.
Cerpen Indonesia mulai dimuat pada tahun 20-an dalam majalah Pandji Poestaka yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat yang lama yang terdapat di seluruh Indonesia seperti si Kabajan, si Lebai Malang.
Penerbitan cerita-cerita pendek ini pula tidak lepas dari peran Balai Pustaka yang pda tahun 1936 mulai menerbitkan cerita-cerita pendek tersebut. Di antaranya cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk.
Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya  pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa, termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi, memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk  berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen. Oleh karena itu, tidaklah salah jika pernyataan Jacob Soemardjo dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975 menyebut bahwa tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya sekitar pada dekade 50-an. Ia menyatakan bahwa pada dekade 50-an merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia, karena pada masa itulah muncul pengarang dengan karya yang fenomenal seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lainnya. Pada cerpen tahun dekade 50-an temanya lebih banyak condong pada agama yang tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Hal tersebut membuat parasaan si tokoh menjadi liar, aneh, dan tak terduga.
Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an pengarang seperti Putu Wijaya, Danarto, dan Kuntowijoyo memunculkan karya-karya cemerlang sebagai pembaruan bagi bentuk cerpen itu sendiri.
Cerpen-cerpen Indonesia terus berkembang hingga era 2000-an dengan bentuk yang relatif sama namun dengan eksplorasi/eksperimen dunia dan kisah yang terus berkembang. Seperti Ahmad Tohari (misal, bereksplorasi dengan seting pedesaan atau tempat-tempat yang jauh dari modernisme, Raudal Tanjung Banua yang sering memandang kepada dunia mitos, Yosi Yonata yang membuka dunia yang belum pernah ditemui sebelumnya, dan eksplorasi lain dari pengarang-pengarang sesuai pengembangan diri masing-masing. Hingga saat ini cerpen sudah memiliki tempatnya sendiri yang segaris dengan novel, prosa, maupun puisi.

b.   Surat Kepercayaan Gelanggang
Pada pertengahan tahun 1946, atas usaha penyair Chairil Anwar almarhum, bertemu beberapa orang dari pendiri-pendiri ‘Gelanggang”, Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, Baharudin dan Henk Ngantung. Dalam percakapan pada waktu itu terasa dengan terang, bahwa perjuangan Indonesia seharusnya dilakukan tidak saja dilakukan di dalam lapangan politik, ketentaraan, ekonomi, tetapi juga di dalam perjuangan kebudayaan. Justru perjuangan inilah yang tidak tampak nyata pada waktu itu. Hal-hal itu menimbulkan cita-cita untuk mendirikan perkumpulan “Gelanggang”. Dan mulai hari itulah dimulailah dengan usaha-usaha pertama, mencari perhubungan dengan orang yang bisa mengisi cita-cita perkumpulan yang belum nyata sifatnya.
Surat Kepercayan Gelanggang merupakan dokumen pernyataan terbaik tentang cita-cita Angkatan 45. Dokumen ini juga merupakan suatu pernyaataan yang retrosfektif, karena pada dokumen ini tercantum tanggal 18 Februari 1950, yaitu hampir setahun setelah meninggalnya Chairil Anwar, dan baru diterbitkan pada tanggal 22 Oktober pada tahun itu juga dalam majalah Siasat.
Berikut adalah isi dari Surat Kepercayaan Gelanggang:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Teeuw (1980, 176-177) mengatakan bahwa angkatan ini sebagai ahli waris kebudayaan dunia masih menduduki tempat yang terpenting, sedang mereka menjadi seorang Indonesia semata-mata merupakan suatu kebetulan saja. Dengan hal ini dihubungkan tiga perkara: 1) penolakan akan kecendrungan untuk mempertahankan dan memuja zaman silam mereka sendiri, semata-mata karena hakikat zaman silam itu kebetulan bersifat Indonesia; 2) revolusi yang belum selesai, yang kemudian makin diutamakan bukan saja oleh tokoh-tokoh kesusastraan, tetapi terutama oleh tokoh-tokoh politik yang penting termasuk Presiden Soekarno sendiri; dan 3) hubungan dengan masyarakat atau rakyat dapat kita sebutkan pernyataan rakyat.
Teeuw juga mengatakan unsur-unsur kesejagatan yang merupakan tema utama dalam karangan ini sendiri kemudian dalam praktek ternyata merupakan suatu kekeliruan, atau sekurang-kurangnya suatu masalah. Semakin rapat hubungan para pengarang ini dengan ‘kebudayaan dunia’ semakin jelas bahwa di balik istilah yang satu ini terdapat bukan sedikit gejala yang berbeda dan bertentangan; dan untuk membentuk kepribadian sendiri, maka perlu dipilih beberapa aspek yang sesuai dan menolak aspek-aspek lainnya.

c.    Manifes Kebudayaan
Manifes Kebudayaan merupakan sebuah upaya penolakan slogan Lekra, yaitu “Politik Sebagai Panglima”. Slogan tersebut dirasa telah menggeser keberadaan seni dan sastra para seniman. Sastra menjadi tempat berkumpul orang-orang yang hendak mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Manifes Kebudayaan disusun dan ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohammad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.
Manifes kebudayaan ini diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1963, dalam bukunya Rosidi (1969:18) menuliskan isi dari Manifes Kebudayaan sebagai berikut:
·      Kami para seniman dan tjendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudajaan, jang menjalankan pendirian, tjita2 dan politik Kebudajaan Nasional kami.
·      Bagi kami kebudajaan adalah poerdjoangan untuk menjempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudajaan di atas sektor kebudajaan yang lain. Setiap sektor berdjuang bersama-sama untuk kebudajaan jang lain. Setiap sektor berdjuang bersam-sama untuk kebudajaan itu sesuai dengan kodratnja.
·      Dalam melaksanakan kebudajaan Nasional kami berusaha mentjipta dengan kesungguhan jang sedjudjur-djudjurnja sebagai perdjoangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masjarakat bangsa2
·      PANTJASILA adalah falsafah kebudajaan kami.
Djakarta ,17 Agustus 1963
Manifes ini segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air. Para buudayawan, seniman, dan para pengarang yang hidup terpencil di kota-kota lain dan yang selama itu hidup dalam suasana mental di teror oleh Lekra. Maka segera mereka berlomba-lomba menyatakan dukungan terhadap Manifes yang dipublisir pula melalu majalah Sastra dan penerbitan-penerbitan lain yang dikuasai oleh para pendukung Manifes. Namun di satu sisi adanya Manifes ini justru mempermudah Lekra untuk menghancurkan dan orang-orang yang selama ini mereka anggap sebagai musuh.
Manifes kebudayaan segera dijadikan sasaran utama Lekra. Ketika itu (surat kabar dan majalah, juga radio hampir seluruhnya dikuasai oleh orang-orang PKI). Maka perspun digunakan secara beramai-ramai untuk menghantam Manifes Kebudayaan.
Pihak Manifes pun tidak tinggal diam. Mereka mempersiapkan sebuah konferensi yakni KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia), namun dalam prakteknya panitia hanya mengutamakan para penandatangan Manifes saja dan dianggap gagal.
Konferensi berikutnya menghasilkan PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia). Sebelum PKPI berjalan, Soekarno telah mengeluarkan laranganakan ManifesKebudayaan. Hal tersebut berakibat mundurnya anggota Manifes Kebudayaan dan memaksa pengarang-pengarang menulis dengan nama samaran. Situasi tersebut membuat cirri khusus pada penulisan karya sastra pada masa itu. Penulisan lebih bertema perlawanan terhadap penindasan martabat manusia.
Ketika manifest kebudayaan dilahirkan, sejarah kebudayaan kita yang berarti pula sejarah Revolusi nasional kita, telah menempuh sekian tahun kehidupannya. Oleh sebab itulah sejarah Manifes Kebudayaan tersebut tidak sekedar dimulai dari saat penulisan draftnya dipertengahan tahun 1963, melainkan pada hakikatnya telah dimulai sejak karyawan-karyawan kebudayaan dalam bertindak “mengalahkan alam dan zaman”, yakin bertindak secara kreatif dengan meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara (Kratz, 2000:481)

d.   Maecenas Sastra
Dalam kamus istilah sastra (Zaidan,dkk., 2007:124) maesenas adalah hartawan atau orang yang berkedudukan tinggi yang berperan sebagai penaung atau melindungi dan membantu seniman dalam kegiatan keseniannya. Istilah ini diambil dari nama pribadi seorang hartawan Romawi yang terkenal sebagai sponsor kegiatan kesenian.
Adapun para maesenas sastra dari awal perkembangan Sastra di Indonesia yaitu tidak lepas dari angkatan-angkatan dari periode-periode yang berhasil menghasilkan dan menyebarluaskan karya-karya para sastrawan Indonesia pada masanya dan manfaatnya pun masih bisa kita rasakan sampai sekarang.
Berikut ini beberapa para maesenas sastra yang telah berjasa dalam perkembangan sastra Indonesia:
1.    Angkatan 20 (Balai Pustaka)
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebutsebagai penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi BacaanRakyat. Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu.
Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
(1)     Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongengyang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah ataudisempurnakan.
(2)     Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
(3)     Menerima karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengankeadaan hidup sekitarnya.
2.    Angkatan 33 (Pujangga Baru)
Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.
3.    Angkatan 45
Angkatan 45 disebut juga sebagai Angkatan Chairil Anwar atau angkatankemerdekaan. Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar,sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yangterkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah
4.    Angkatan 66
Nama angkatan 66 dikemukakan oleh H.B.Jassin. Angkatan 66 muncul di tengah-tengah keadaan politik bangsa Indonesia yang sedang kacau. Kekacauan politik itu terjadi karena adanya teror PKI. Akibat kekacauan politik itu, membuat keadaan bangsa Indonesia kacau dalam bidang kesenian dan kesusatraan. Akibatnya kelompok lekra di bawah PKI bersaing dengan kelompok Manikebu yang memegang sendi-sendi kesenian, kedamaian, dan pembangunan bangsa dan Pancasila.
Selain itu terdapat DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dari segi instansi atau lembaga. Adapula, Kompas, Majalah Horison yang banyak menerbitkan karya-karya para sastrawan dan banyak menghasilkan para sastrawan-sastrawan baru misalnya melalui lomba-lomba dan penghargaan karya sastra yang mereka adakan.

e.    Polemik Kebudayaan
Konsep tentang kebudayaan nasional sebagai sesuatu yang umum dan daya pemersatu yang mempertalikan segenap rakyat dari kawasan yang didefinisikan oleh negara-bangsa merupakan motif umum dalam sejarah bangsa modern.
Kebudaayaan nasional dipandang sebagai akibat dari perpaduan harmonis antara ‘nilai-nilai dari masa lalu yang tetap bertahan’ dan pengaruh positif yang bisa saja berasal dari kebudayaan asing  dan ‘efek modernisasi’. Sebagai bagian dari proses ini, bahasa, budaya, dan kesenian daerah dipandang sebagai ‘bagian dari warisan nasional’ yang ‘memperkaya nuansa warna dalam kesenian nasional yang pada dasarnya memang beragam dan pluralistik.
Namun sejalan dengan itu banyak muncul kontradiksi tentang tradisi kebudayaan itu sendiri. Dilihat dari fenomena mulai munculnya tradisi Barat yang umumnya lebih banyak mempengaruhi golongan-golongan muda. Golongan-golongan tua ada yang berpendapat bahwa hal tersebut akan menyingkirkan budaya sendiri yang harusnya di pertahankan sebagai identitas bangsa. Namun adapula yang berpendapat berbeda.
Takdir Alisjahbana yang pro-Barat mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh Barat sepuas-puasnya sajalah kita (bangsa Indonesia) dapat mengimbangi Barat. Tetapi pernyataan tersebut menuai polemik dan akhirnya harus berhadapan dengan Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara yang hendak mempertahankan tradisionalisme  karena dianggap sebagai kepribadian bangsa (Rosidi,1969:38). Disaat kedua kubu tersebut berselisih, tetapi kedua belah pihak memiliki satu pemikiran yang sama agar kebudayaan Indonesia yang beku bisa mencair, sehingga bisa terus tumbuh dan berkembang dalam kesempurnaan. Polemik tentang kebudayaan itulah yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Polemik Kebudayaan (Rosidi,1969:38).
Polemik Kebudayaan merupakan salah satu judul buku yang disusun oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 sesudah perang kemerdekaan. Buku tersebut mengandung sumbangan dari St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir dan Ki Hadjar Dewantara. Pada dasarnya problematika dasar yang dihadapi adalah adanya silang pendapat antara generasi muda yang membentuk sikapnya sendiri dengan menentang pendapat Takdir Alisjahbana. Kedua kubu tersebut berpolemik tentang berbagai aspek masalah kebudayaan baru pada saat itu. Polemik yang mereka hadapi merupakan adanya sebuah pernyataan unsur-unsur reaksi di dalam lingkungan kebudayaan feodal  yang sudah beku tersebut.
Polemik Kebudayaan itu terjadi di dalam tahun-tahun tigapuluhan –limapuluh tahun yang lalu- sehingga pembicaraan pada waktu itu sudah didekati secara nyata lagi. Yang sulit dihidupkan lagi adalah ligkungan dan suasana zamannya yang masih berada di dalam hubungan kehidupan penjajahan Belanda, yang dalam beberapa hal tentu menentukan dan membatasi isi dan haluan perdebatan yang sedang berlangsung (Kratz, 2000:812).
Budaya nasional memang harus dipertahankan, namun bukan berarti kita menolak budaya luar selama itu baik untuk perkembangan bangsa kita sendiri. Intinya ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk.

f.     Sastra Tersimpan dan Sastra Tersiar pada Sastra Indonesia Zaman Jepang
Sastra Jepang memiliki corak yang beraneka ragam. Pada dasarnya da dua macam sastra pada masa itu: (1) sastra yang tersiar dan (2) sastra yang tersimpan.
Karya sastra pada masa pendudukan Jepang sangat sulit tercipta. Hal itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah Jepang membentuk Keimin Bunka Syidosy. Keimin Bunka Syidosyo dibentuk dengan tujuan mengevaluasi karya-karya sastra rakyat yang tercipta pada saat itu. Karya-karya yang pada saat itu muncul harus sesuai dengan harapan pemerintah jepang, yaitu mendukung Negara Asia Timur Raya dan tidak membahayakan kependudukan Jepang di wilayah nusantara. Karya-karya sastra yang tercipta pada saat itu sebagian tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah Jepang sehingga tidak lolos badan Keimin Bunka Syidosyo. Karya sastra yang tidak lolos tersebut pada akhirnya disebut sebagai sastra tersimpan.
Selain sastra tersimpan, terdapat pula sastra tersiar yang merupakan karya sastra lolos sensor Keimin Bunka Syidosy dan kemudian terbit. Beberapa contoh karya sastra tersiar antara lain Djengir Bali dan Tjinta Tanah Air oleh Nur Sutan Iskandar, lalu ada juga novel Palawidja, Roman Pantjaroba (1945) oleh Karim Halim, Djedjak Langkah (1953) yang merupakan roman Marxis karya Bakri Siregar, terdapat pula beberapa drama modern seperti Lukisan Masa (1937) oleh Armijn Pane dan Manusia Baru (1940) oleh Sanusi Pane.
Menurut Sarwadi (2004:123) Sastra yang tersiar maksudnya sastra yang berhasil disiarkan, baik melalui majalah maupun melalui penerbitan tersendiri, sesudah mengalami sensor pemerintah. Sastra yang tersimpan ialah sastra yan ditulis pada masa itu, tetapi baru disiarkan sesudah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, mislanya beberapa sktesa (lukisan) Idrus dalam corat-coret di Bawah Tanah. Corak dua macam sastra tersebut sangat berbeda bahkan sering tampak bertentangan. Selain itu, tiap macam sastra itupun masing-masing memiliki variasi tersendiri.
Berdasarkan kenyataan di atas, karakterisasi sastra Indonesia di masa Jepang dapat dirangkumkan sebagai berikut.
1.    Umumnya sastra tersiar pada masa itu tidak terlepas dari unsur tendens, yaitu tendens membantu perang Jepang, bahkan sering unsure tendens itu begitu jelas sehingga berubah sifat menjadi propaganda. Tendens demikian tampak pada dua novel yang terbit pada masa Jepang, yaitu Palawija karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar.
2.    Sastra tersiar yang tidak mengandung tendens, umumnya menyatakan maksud isinya dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian dari realitas kehidupan yang pahit, misalnya “Dengan Keluhan Pohon Mangga” dan “Tinjaulah Dunia Sana”, keduanya karangan Maria Amin. Juga cerpen Bakri Siregar yang berjudul “Burung Balam” dan “Turunan”, dapat dipandang bersifat simbolik karena keduanya berlaku dalam dunia binatang. Pelarian ke tempat terpencil, misalnya tampak pada beberapa cerpen Bakri Siregar yang berjudul “Di Tepi Kawah” dan “Di Balik Bukit”, sedangkan pelarian kepada Tuhan tampak misalnya pada puisi-puisi Bahrum Rangkuti. Berikut ini adalah kutipan alinea terakhir “Dengan Keluhan Pohon Mangga”.
O, Tuhan, kalau pohon mangga pandai berbicara tentu dia akan bercerita apa yang telah dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.
3.    Sastra tersimpan umumnya berupa sastra kritik yang berisi kecaman dengan sindiran terhadap ketidakadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sejarah kehidupan suatu bangsa ternyata bahwa sastra kritik selalu timbul apabila tidak ada keserasian dalam tata kehidupan bangsa itu; misalnya tidak ada kecocokan antara janji dan slogan-slogan dari penguasa dengan kenyataan yang sebenarnya, perbedaan yang terlalu jauh antara si kaya dan si miskin, pembatasan dan penyelewengan hak-hak asasi manusia, tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, dan sebagainya. Wujud sastra kritik ini dapat bermacam-macam; misalnya dalam bentuk satire, baik yang sinis maupun yang bersifat humor, simbolik, atau langsung berupa kritik lugas. Satire yan sinis misalnya berupa sketsa-sketsa Idrus dalam Corat-Coret di Bawah Tanah.
4.    Genre sastra yang dominan pada masa Jepang yaitu bentuk puisi, cerpen, dan drama. Perkembangan yan mencolok di antara ketiga bentuk itu dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yaitu bentuk drama.  Dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia belum pernah terjadi kehidupan drama sesubur masa Jepang.
5.     Dibandingkan dengan corak sastra sebelumnya yang umumnya masih bersifat romantic-idealisme, sastra masa Jepang lebih bersifat realistis (romantic-realistis). Hal ini disebabkan corak romantik pada masa itu langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang pahit, yang penuh dengan penderitaan. Beberapa contoh sastra yang bersifat realistis itu misalnya beberapa sketsa Idrus, cerpen-cerpen Amal Hamzah, dan lain-lain.
Seperti telah disebutkan beberapa contoh di atas, buku sumber tentang sastra di masa Jepang tidak banyak. Namun H.B. Jassin menyusun sebuah antologi Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, dari sinilah dapat diperoleh bahan-bahan tentang pengarang-pengarang masa Jepang dan hasil karangannya. Selain itu, H.B Jassin juga menyusun suatu antologi lain yang berjudul Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi 1942-1948, yang di dalamnya termuat juga beberapa hasil karangan yang ditulis di masa Jepang. Adapula antologi yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1946 yang berjudul Pancaran Cita.
Beberapa pengarang di masa Jepang diantaranya yaitu Rosihan Anwar. Rosihan Anwar termasuk seorang pengarang yang tidak terpengaruh oleh propaganda Jepang sejak permulaan. Cerpennya yang terkenal yang berjudul Radio Masyarakat mengisahkan tentang kehidupan seorang pemuda yang terombang-ambing jiwanya karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan semangat baru para pemuda pada waktu itu. Walaupun ia memperoleh suntikan-suntikan semangat dari seorang dokter, ia dalam kebimbangan. Akhirnya, ia pergi bekerja ke Palembang untuk mendapatkan ketentraman hati.


4 komentar:

  1. Maaf mbk k,ada daftar pustakanya?

    BalasHapus
  2. How to play roulette, get free spins & a bonus - JTM Hub
    Roulette is another 서울특별 출장안마 popular 울산광역 출장샵 casino game in which you play 익산 출장샵 the most 광주광역 출장샵 popular European Roulette variant. The casino has the 강원도 출장마사지 option of making bets,

    BalasHapus

Jangan lupa koment yah :D