1.
Dalam kesusastraan Indonesia, sejak Balai
Pustaka sampai sekarang karya sastra selalu mendapat tanggapan pembaca.
Tanggapan mereka selalu berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala
harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep dari periode ke periode. Kemukakan
pendapat saudara terhadap fenomena hal tersebut disertai contoh kasus!
Pembicaraan mengenai kesusasteraan
Indonesia tidak dapat terlepas dari periodisasi sastra Indonesia. Periodisasi adalah
proses mengurutkan atau mengkategorikan beberapa karya sastra sesuai rangka waktu
melalui ciri-ciri khusus tiap periode. Susunan periode-periode dikatakan seperti balok-balok batu yang dideretkan
yaitu periode satu diganti periode yang lain dengan batas tegas. Akan
tetapi, hal itu tidak berlaku mutlak,
periode-periode itu saling bertumpang tindih sebab sebelum periode angkatan
sastra yang satu habis atau lenyap sudah timbul angkatan sastra yang lain,
bahkan pada periode itu angkatan sastra yang lama masih menunjukkan kekuatannya
atau integrasinya. Bahkan, bila dibuat irisan penampang pasa satu periode (sincronis cross section), mungkin dalam
satu periode berdampingan tiga atau empat angkatan yang masing-masing
menunjukkan ciri-ciri sastra yang berbeda. Akan
tetapi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodesasi yang
satu dengan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia modern
sejaktahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun ’30, tahun ’45, dan tahun ’66 sebagai tonggak
– tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya berkisar pada masalah
istilah dan peranan tahun 1942 dan 1950 dalam perkembangans astra Indonesia.
Menurut Sarwadi (2004:18-19), ada beberapa macam
periodisasi yang pernah dikemukakan orang, yang satu berbeda dengan yang lain.
Pangkal perbedaan itu terutama ialah:
1) Tidak adanya kesamaan istilah yang dipergunakan.
Istilah-istilah yang biasa dipakai misalnya angkatan, periode dan generasi;
2) Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap
istilah-istilah tersebut. Tentang apa yang disebut angkatan, banyak perbedaan
pendapat. Rumusan Pramudya Ananta Tur berbeda dengan rumusan Asrul Sani,
berbeda pula dengan rumusan Rachmat Djoko Pradopo, Ajip Rosidi dan sebagainya;
3) Tidak adanya kesamaan nama yang
dipergunakan untuk menyebut suatu angkatan atau suatu periode. Ada yang memakai
angkat tahun, ada yang memakai nama badan penerbit, nama majalah, nama buku,
dan sebagainya;
4) Tidak adanya kesamaan sistem yang
dipergunakan. Ada yang menunjuk satu angka tahun, misalnya angkatan 20, dan ada
pula yang menunjuk jangka waktu dari dua
angka tahun, misalnya periode tahun ’20 hingga tahun ’30.
Hal
tersebutdapatdilihatdalambeberapacontohperiodesasi di bawahini.
·
Periodisasisastra Indonesia menurut H.B. Jassin
:
1.
SastraMelayu Lama
2.
Sastra Indonesia Modern
a.
Angkatan‘20
b.
Angkatan‘33
atauPujanggaBaru
c.
Angkatan‘45
mulaisejak 1942
d.
Angkatan‘66
mulaikira – kiratahun 1955
·
Periodesasisastra Indonesia menurutAjipRosidi
1.
Sastra Nusantara Klasik
(sastradariberbagaibahasadaerah
di Nusantara)
2.
Sastra Indonesia Modern
a.
MasaKelahiran (MasaKebangkitan)
1. Periodeawal
– 1933
2. Periode
1933 – 1942
3. Periode
1942 – 1945
b.
MasaPerkembangan
1.
Periode 1945 – 1953
2.
Periode 1953 – 1961
3.
Periode 1961 – sekarang.
Sebuah karya sastra tak cuma menampakkan wajah yang sama kepada setiap
pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi
yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada pembaca-pembacanya (Jauss,
1974:14; Pradopo, 2011:9).
Jauss (1974:14; Pradopo, 2011:9) mengatakan bahwa sejarah sastra merupakan
sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan
teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus, dan
penulis dalam kreativitas sastra.
Adanya perbedaan tanggapan para pembaca itu disebabkan oleh apa yang
disebut horison harapan atau cakrawala harapan. Setiap pembaca itu mempunyai
konsep-konsep tertentu atas karya sastra disebabkan oleh pengalamannya,
pendidikan sastra, dan bacaan-bacaan sastranya, kecakapan atau kemampuan
pemahamannya atas norma-norma sastra dan pemahaman kehidupan (Segers, 1978:41;
Pradopo, 2011:9).
Yang
dimaksud dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu
keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepi pembaca
terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:206). Keindahan yang sampai pembaca
mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizonatau
horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang
pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:207).
Tiap pembaca mempunyai wujud karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya
sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian
tertentu mengenai sebuah karya sastra baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang
pembaca “mengharapkan” bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan
pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra
seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra
antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda.
Segers (1978:41; Pradopo, 2011:208) mengemukakan bahwa cakrawala harapan
itu ditentukan oleh tiga kriteria; pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca
oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh
pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yan telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan
kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horison “sempit”
dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang
kehidupan.
Cakrawala harapan penting untuk sebuah karya
sastra. Hal ini untuk mengetahui apakah sebuah karya sastra teruji waktu atau tidak.
Karya-karya yang memiliki bobot, unsure estetis, dan beberapa faktor lain yang
tinggi akan tetap diperbincangkan, dibaca, ataupun dibahasoleh orang yang
berada pada waktu/era berbeda. Karya-karya yang teruji oleh waktu biasanya berupa
karya sastra serius. Contoh karya–karya tersebut di antaranya roman SittiNurbaya karya Marah Rusli, Belenggu
karya Armijn Pane, Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, dan beberapa lainnya.
Novel belenggu merupakan salahs atu novel
yang teruji waktu.Novel tersebut pada masa awal terbit mengalami problematika karena
faktor-faktor nilai dalam masyarakat yang masih terlalu tinggi. Novel ini dilarang
peredarannya karena novel ini dianggap terlalu porno. Pada masa sekarang, Belenggu tidak lagi dianggap novel yang
porno karena nilai-nilai dalam masyarakat telah bergeser dari masa ke masa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa periodisasi
sangat berpengaruh besar dalam hal memunculkan cakrawala harapan dari para
pembaca karya sastar itu sendiri. Karena tiap periode memiliki konsep dan ciri
khasnya masing-masing.
2. Apa yang saudara ketahui tentang fenomena Roman Picisan à Novel Pop! Untuk fenomena novel pop kemukakan penyebab timbulnya,
tipologi, contoh-contohnya/karya beserta pengarangnya, perbedaannya dengan
novel serius/sastra, bandingkan juga dengan chiklit,
teenlit, momlit, dan hal-hal lain yang masih bisa/ada kaitannya dengan
fenomena novel pop tersebut!
Roman adalah bentuk
sejarah Eropa yang tumbuh subur sekitar abad ke-18 dan ke-19. Bentuk ini
ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak dalam prosa, melainkan
juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Muh
Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain, banyak menulis soneta, yaitu bentuk puisi
yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan Belanda.
Barulah pada tahun
1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi,
yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab
dan Sengsara. Dua tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi
klasik Sitti Nurbaja karangan Marah
Rusli. M.Kasim menulis Muda Teruna
dan Nur Sutan Iskandar dengan mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1922) (Rosidi,
1969:5).
Sastra periode
tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang
diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan
yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra
penerbitan Medan.
Seri cerita-cerita
roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam suatu seri dengan
nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman,
dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama,
dan lain-lain.
Dalam bahasa
Belanda ada istilah stuiversroman,
yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasai
Indonesia. Keduanya menunjuk pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau
kurang berharga; walaupun istilah yang dipergunakan berbeda (stuiver = 5 sen;
sepicis = 10 sen).
Roman picisan
adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau
novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian
sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di
kota-kota besar terutama di daerah Sumatra Timur. Akan tetapi, tidak berarti
bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa
hal penyimpangan itu selalu ada.
Sesuai dengan
tulisan R. Roolvink tentang “Roman Picisan Bahasa Indonesia” yang dimuat
sebagai lampiran pada buku Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru
karangan A. Teeuw, maka beberapa corak seri roman picisan itu dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Penerbitan
Roman Picisan umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat ceritanya
lebih banyak diarahkan pada selera pembaca. Cerita-ceritanya bersifat dramatis,
kocak sesuai dengan kehendak zaman, tentang cinta yang cengeng, dan banyak pula
yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat sederhana sesuai dengan
tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya.
2. Lukisan watak
pelaku-pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup manusia
yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua corak watak manusia, yaitu baik
atau buruk saja, tanpa variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata
sebagai berikut.
“Dipandang dari kesusastraan buku-buku itu tidaklah dapat dikatakan
berhasil. Jalan ceritanya biasanya Indah, tetapi tidak mendalam sedikitpun.
Orang-orang serta tabiat-tabiat yang dilukiskan samar saja dan tidak sampai
diperkembangkan, jangan lagi untuk dikatakan bahwa lukisan-lukisan watak itu
menurut ilmu jiwa dapat dipertanggungjawabkan, supaya gerak-gerik masing-masing
pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal.”
(Teeuw, 1953:243)
3. Persoalan ceritanya berhubungan dengan
pertentangan antara kebudayaan kota modern dengan kebudayaan lama, yang
dianggapnya sebagai kebudayaan kuno, kolot, tua dan sebagainya. Oleh karena
itu, pada umumnya cerita-cerita roman picisan itu bermain di kota-kota besar
dengan kehidupan kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan
minum di restoran, menghisap rokok dengan merk yang serba mahal, pergi tamasya
dan lain-lain. Demikian pula cara berhias serba modern, secara Barat dengan
model-model terakhir.
4. Sering dalam cerita disisipkan reklame
atau propaganda untuk sesuatu badan usaha atau untuk barang dagangan. Dalam
perkembangan tenik reklame, cara seperti itu sekarang banyak dikembangkan
melalui cerita-cerita pedalaman, sandiwara radio, dan sebagainya.
5. Komposisi cerita dan bahasa yang
dipergunakan umumnya kurang
terpelihara. Komposisi ceritanya sering tidak runtut, hubungan kausalitasnya
tida jelas. Bahasa yang digunakan lancar, tetapi pemilihan kata, pemakaian
perbandingan, dan tanda bacanya sering kurang tepat.
Menurut telaah Labrousse
(1974; Teeuw, 1989:170) dalam sejarah Indonesia modern, terutama dalam hal
novel, sebenarnya genre roman picisan
itulah satu-satunya mata rantai periode sebelum 1965 dengan sastra “baru”dari tahun
1970-an.
Dekade 1970-an dibanjiri
oleh novel populer yang benar-benar merupakan fenomena baru dalam kehidupan sastra
Indonesia. Novel pop yang
dalamdekade-dekade sebelumnya ditolak oleh masyarakat “sopan”, kini justru dibaca
dan dicari. Hal ini bisa kita maklumi lantaran novel pop tahun 70-an lebih bersih
dan lebih baik struktur ceritanya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam
decade ini muncul banyak penulis novel pop wanita, di samping juga yang
pria.Novel pop kebanyakan ditulis oleh penulis-penulis baru, boleh dikatakan sedikit
sekali para novelis sastra yang mau menulis karya pop. Barangkali Motinggo Busye
yang berbuat demikian.
Banyak karya pop yang jauh
lebih banyak mutunya dibanding dengan novel pop decade sebelumnya. Tema yang
dikerjakan oleh para novelis pop tidak lagi sembarangan asal cerita jalan,
tetapi kadang mereka menggara pmasalah yang benar-benar serius. Bahkan banyak dari
novel pop yang merupakan protes terhadap keadaan sosial. Rata-rata novel pop
menarik dan kuat struktur ceritanya. Inilah sebabnya jenis novel ini amat laris
di pasaran (Sumardjo, 1982: )
Menurut Pujiharto
(2010:9-10) terdapat persamaan fiksi/novel populer dan novel serius dari segi
maksudnya, sama-sama berusaha menyajikan pengalaman kemanusiaan. Di dalam dua
jenis novel tersebut terdapat fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana
cerita. Namun, ketika seorang pembaca melakukan pembacaan, terdapat kesulitan
yang berbeda dalam upaya memahami keduanya. Novel serius lebih sulit dibaca
ketimbang novel populer. Untuk dapat memahami novel serius dengan baik seorang
pembaca biasanya harus membaca dua tiga kali atau lebih, sedangkan untuk
memahami novel populer seorang pembaca
cukup membaca satu kali saja.
Adanya perbedaan
tingkat kesulitan itulah sebenarnya yang merupakan dasar pembedaan antara novel
serius dan novel populer. Adapula, perbedaanantara novel popdan novel seriusantara
lain:
1. Novel pop hadir dengan cerita yang
seragam dan meniru pola kehidupan sehari-hari sedangkan novel serius mengutamakan
keunikan karya, kedalaman makna, dan kebaruan.
2. Novel popular hanya sesuai dengan aktualitas
jamannya sedangkan novel serius mengutamakan keabadian karya yaitu karya yang
teruji waktu.
3. Novel pop hanya mengandalkan pada daya
tarik tekhnisnya saja, novelis novel pop dianggap sebagai tukang belaka karena karya
yang dihasilkannya hanya merupakan hal-hal yang belaka saja.
4. Plot bagi novel pop merupakan satu-satunya
jalan utama sebagai tujuan hadirnya karya tersebut sedangkan novel serius mampu
menggunakan berbagai unsure lainnya. Rata-rata novel pop hanya berkisar pada struktur
cerita konvensional, bentuknya sangat mudah ditebak dengan alur seragam.
5. Novel pop menggambarkan tokoh yang
stereotipe (pada umumnya), sedangkan novle serius menggambarkan tipe tokoh.
Dengan penggambaran yang stereotipe, novel populer sebenarnya hanya mengulang
cerita-cerita dalam karya fiksi yang sudah ada sebelumnya. sebaliknya, dengan menggambarkan tipe tokoh,
fiksi serius menghadirkan keunikan tokoh tersebut. Di pihak lain, keunikan
tipek tokoh tersebut bisa dirasakan dan kemudian bisa dipahami oleh pembaca,
dimana saja dan kapan saja. Di dalam fiksi serius terkandung dua sifat
sekaligus, yaitu unik dan universal.
Hadirnya chicklit, teenlit, dan momlit merupakan genre baru dari novel pop. Chicklit merupakan novel fiksi yang
ditulis oleh wanita dan bercerita tentang wanita. Cerita yang biasanya dimunculkan
dalam chickli tadalah kisah wanita
yang mencari pasangan hidup dengan penggunaan bahasa komunikatif sehingga memudahkan
pembaca.
Teenlit merupakan novel fiksi yang ditulis untuk remaja. Teenlit berisi
mengenai percintaan, persahabatan, masa sekolah, dan lain-lain. Contoh dari teenlit
adalah novel
Cintapuccino karya Icha Rachmanti, novel Dealova karya Dian Nuranindya, dan beberapa novel lainnya.
Momlit merupakan novel populer yang dikhususkan kaum bacanya adalah
seorang ibu-ibu. Novel ini menceritakan tentang kehidupan perjalanan seorang ibu,
dari ketika ia akan menjadi ibu, pernikahan, membesarkan anak, karier, dan sebagainya.
Dari uraian di
atas dapat dikatakan bahwa Balai Pustaka memiliki peran yang cukup besar dalam
proses perkembangan sastra modern terutama roman-roman/novel-novel maupun
puisi. Roman-roman inilah yang memunculkan fenomena munculnya novel-novel
populer.
Novel pop dan karya-karya sastra lama hanya sebagai pelipur lara
pembaca/pendengarnya. Novel pop memiliki cerita yang ringan, menghibur, dan kebanyakan
membicarakan tentang cinta, berbeda dengan novel serius yang lebih mengutamakan
cerita yang kompleks dan padat. Alasan tersebut yang membuat novel pop lebih banyak
dipilih konsumen baca pada sekarang ini meskipun novel pop tak mungkin teruji waktu.
3. Bagaimanakah pendapat Saudara tentang pengarang wanita Indonesia dari awal
hingga saat ini/bandingkan dengan pengarang pria? Uraikan pemetaan hal itu
dengan disertai contoh kasus per periode dan bagaimanakah pendapat Anda! Kaitkan
dengan munculnya paham feminisme!
Para
pengarang wanita jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang
paling terkenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama
samaran Sariamin (lahir di Talu, Sumatra Barat, tahun 1909) yang menulis dua
buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh
Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Pustaka.
Sejak tahun 1970-an mulailah bermunculan pengarang
wanita yang cukup banyak di banding decade-dekade sebelumnya. Bukan hanya
banyak muncul namun, tetapi juga kesuburan penulisan mereka serta larisnya
buku-buku mereka cukup menarik perhatian. Gejala ini lantas menimbulkan
spekulasi banyak penerbit baru untuk mencetak novel-novel yang berbau Marga T
atau La Rose. Bahkan sebuah penerbit di Bandung berani menterjemahkan
novel-novel pengarang wanita Amerika pemenang Nobel, yakin Pearl S Buck, secara
beruntun dengan nama penterjemah La Rose.
Dikatakan memang, novel-novel yang ditulis pengarang
wanita kebanyakan mempersoalkan kisah cinta asmara atau masalah rumah tangga
dari pasangan muda. Buku-buku romance ini antara lain ditulis oleh Marga T
(Karmila, Badai Pasti Berlalu, Gema Sebuah Hati, Bukan Impian Semusim), La Rose
(Wajah-Wajah Cinta, Bukan Karena Aku Tidak Mencintai ….) dan masih banyak lagi
yang lain.
Munculnya begitu banyak pengarang wanita ini namoak
menonjol sekali jika disbanding dengan masa-masa sebelumnya. Sekitar dekade
1930-an kita hanya mengenal dua novelis perempuan seperti yang telah disebutkan
di atas yaitu Selasih (Kalau Tak Untung, Pengaruh Keadaan), Hamidah (Kehilangan
Mustika), Suwarsih Djojopuspito (Manusia Bebas – yang semula berbahasa
Belanda).
Kemudian di zaman Jepang dan revolusi penuh diisi
novelis-novelis pria seperti Pramudya Ananta Tur dan Mochtar Lubis serta
Achdiat Kartamihardja. Baru dekade 1950-an muncul novelis-novelis wanita
Waluyati (Pujani), S. Rukiah (Kejatuhan dan Hati), serta NH. Dini (Hati Yang
Damai).
Pada dekade 1960-an Luwarsih Pringgoadisuryo (Tati Tak
Akan Putus Asa, Menyongsong Badai), Darmawan Tjokrokusumo (Nyonya), Enny
Sumargo (Sekeping Hati Perempuan).
Kemunculan pengarang-pengarang wanita ini ternyata pada
masa itu ternyata tidak diimbangi dengan munculnya pengarang pria. Pengarang
pria yang muncul hanya Arswendo Atmowiloto, sedang yang lain penulis-penulis
lama seperti Motinggo Busye dan Asbari Nurpatria Krisna. Kedua penulis terakhir
ini, dimunculkan kembali oleh penerbit karena banyak menulis petualangan cinta.
Sedang nama Ashadi Siregar sebagai penulis pria yang sama populernya dengan
penulis-penulis wanita tadi juga banyak menulis novel dengan tema cinta asmara.
Sebab utama dari larisnya novel-novel wanita ini adalah
timbulnya masa pembaca wanita terpelajar, situasi sosial politik yang relative
tenang, dan masuknya teknologi modern. Kesempatan bagi kaum wanita Indonesia
untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka dengan pria baru terlaksana
sejak tahun 1950, masuknya teknologi modern yang juga merajai bidang hiburan
mengaikbatkan lahiranya budaya massa bersifat popular, seperti timbulnya gedung
bioskop, televise, radio amatir, majalah-majalah popular degan teknik mutakhir.
Namun, dari fakto tersebut kondisi sosial inilah yang paling tidak bisa
diabaikan yang menyangkut pertumbuhan kaum terpelajar wanita, yang memungkinkan
adanya gejala baru: tumbuhnya novel-novel romance yang ditulis oleh kaum wanita
sendiri.
Tahun 1990-an fenomena yang menggelinding deras sebagai
sebuah gerakan baru dalam sastra Indonesia telah diperlihatkan oleh para
novelis perempuan Indonesia pasca-Saman Ayu Utami. Para penulis perempuan,
belakangan ini secara kuantitatif telah menggeser posisi –dan mungkin juga
dominasi- novelis laki-laki. Jika NH. Dini dan Titis Basino sebagai novelis
wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya, Ayu Utami Lewat
Novelnya, Saman (1998) seperti
berhasil menyebarkan semacam virus yang menggelisahkan bakat-bakat terpendam
penulis perempuan lainnya. Dengan kualitas narasinya yang kuat dan tema
ceritanya yang memaksanya harus mengangkat persoalan seksual, posisi Saman dalam peta novel akhir dasawarsa
tahun 1990-an iti menjulang sendiri tanpa tersaingi.
Selepas itu muncul Dewi Lestari lewat Supernova-nya
(2001), juga berhasil menawarkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia,
dengan memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita.
Bersamaan dengan itu, muncul pula Fira Basuki yang mengawali kiprah
kepengarangannya lewat novel Jendela (2001)
yang ternyata merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi, Pintu (2002) dan atap (2002). Novel
pertama Fira Basuki itu ternyata mendapat sambutan yang meyakinkan dari
sejumlah pengamat sastra Indonesia. Kemudian di tahun 2003, misalnya Anggie D.
Widowati (Langit Merah Jakarta, 2003
dan Laras, 2003) yang mengangkat
masalah pada zaman Orde Baru dapat dikategorikan “tabu” dan “berbahaya karena
dapat mengganggu stabilitas nasional.”
Dalam novel Maria Etty, Hayuri (2004) tokoh-tokoh yang
menjadi korban politik dan terjadinya penyelewengan yan dilakukan pejabat
negara lebih transparan. Pada tahun 2005 muncul Djenar Maesa Ayu dengan novel
pertamanya Nayla (Gramedia, 2005), mengangkat
secara ringan berbagai penyimpangan seks. Dan masih banyak lagi para novelis
perempuan yang menulis tentang hal yang sama.
Demikianlah, berbagai persoalan yang sebelumnya
dianggap tabu, terlarang atau hal-hal yang pada zaman Orde Baru sering dicap
“berbahaya bagi stabilitas nasional” kini seperti berjejalan memasuki sejumlah
novel karya para penulis perempuan. Selain kisah yang berhubungan dengan korban
politik tahun 1960-an dan tema seks, tak sedikit pula penulis perempuan ini
yang coba mempertanyakan kembali kedudukan dan citra perempuan menurut
perspektif tradisi, kultur dan agama.
Secara leksikal, Moeliono, dkk. (1993:241; Sugihastuti,
2005:61) menyatakan bahwa feiminisme adalah gerakan kaum perempuan yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Feminisme merupakan kegiatan terorganisasi yan
memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Geofe, 1986:837; Sugihastuti,
2005:61). Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, berarti mereka mempunyai
hak untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh kaum
laki-laki selama ini. Dengan kata lain feminism merupakan gerakan kaum
perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Jika dilihat dari konsep feminisme penulis-penulis
wanita dari zaman Kartini dengan Habis
Gelap Terbitlah Terang, di era 1970-an dan seterusnya sampai tahun 2000-an
telah memperlihatkan konsep feminisme untuk memperjuangkan kaum mereka melalui
tema yang diangkat dalam tulisan-tulisan mereka seperti yang telah disebutkan
di atas yang secara umum berani mengangkat tema-tema yang kontroversional.
Adapula contoh lain, masih dengan semangat melepaskan diri dari berbagai stigma
yang sangat memojokkan kaum perempuan, Abidah el Khalieqy dalam Geni Jora
(2004) mengaitkannya dengan lingkaran tradisi Jawa dan Pesantren (Islam). Meski
Abidah tak secara eksplisit melakukan gugatan, ia seperti menyodorkan semacam
solusi untuk menjawab problem itu, yaitu dengan menjadi sosok seorang muslimah
yang cerdas, berwawasan, dan cantik setidak-tidaknya, cantik perilakunya. Hanya
dengan itu, kaum lelaki akan menghargai perempuan.
Secara umum, kehadiran para penulis perempuan dalam
peta novel kontemporer memperlihatkan adanya perubahan sikap dalam menempatkan
posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan kemasyarkatan, yaitu hasrat untuk
tidak lagi terkungkung dalam lingkup domestic. Perubahan sikap itu terungkap
dari tema-tema yang diangkatnya yang berkaitan dengan lima stigma sebagai
akibat dari: (1) korban politik, (2) tradisi dan kultur masyarakat, (3) problem
seks, (4) tafsir agama sebagai alat legitimasi, dan (5) problem domestik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita
tidak berbeda dengan laki-laki. Namun selama ini yang mengungkung adalah
tradisi dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu
kesempatan bagi kaum perempuan dan atas dasar kesadaran pada kaumnya akhirnya
mereka bangkit dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu asal diberi ruang
dan kesempatan yang sama. Namun jangan disalahartikan konsep feminisme disini
bukan berarti wanita menentang kaum laki-laki dan melupakan kodratnya sebagai
perempuan.
4.
Karya sastra Indonesia terutama genre novel mengalami perkembangan yang
signifikan atau boleh dikatakan luar biasa. Hal itu terlihat dengan munculnya
aliran modernisme dan postmoderinsme. Uraikan dengan disertai contoh kasus
(pada genre prosa-boleh cerpen ataupun novel)!
Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam
demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini
menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung risiko dicap sebagai ikut
mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong. Masalahnya adalah, bahwa
istilah itu di satu pihak memang telah sedemikian populer, dipihak lain
senantiasa mengelak untuk bisa didefinisikan dengan memadai. Keluasan wilayah
di mana istilah tersebut digunakan saja cukup mencengangkan. Ia digunakan
bertebaran dimana-mana sehingga tidaklah mengherankan bila maknanya menjadi
kabur, misalnya musik, seni rupa, fiksi, fotografi, arsitektur, kritik sastra,
dan lain-lain.
Yang menyebabkan kekaburan makna istilah
“postmodern” itu kiranya adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya.
Sehubungan dengan akhiran “isme” itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari
postmodernitas. Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas
gambaran dunia (world view),
epistemologi dan ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata
sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya
negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.
Istilah “postmodern” diungkapkan pertama kalinya
muncul di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks istilah itu pertama-tama
dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a
Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam
modernisme. Kemudian dibidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Di sini
istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang
dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, surutnya
individualisme, kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan kekuatan budaya
non-Barat. Disinggung pula di sana tentan pluralisme dan kebudayaan dunia,
hal-hal yang masih esensial dalam pengertian tentang postmodernisme kini.
Budi Darma mengungkapkan (2007:208) makna modernisme
sebenarnya tidak hanya mengacu pada waktu, tetapi juga mengacu pada sikap
mental. Maksudnya aliran modernisme ini adalah suatu sikap yang siap dalam
menghadapi perubahan dengan sikap realistis dan terbuka kapan pun waktunya.
Sehingga siapa pun yang saat ini tidak siap menghadapi perubahan dengan sikap
realistis dan terbuka, tidak dapat dianggap modern meskipun orang itu hidup
pada saat sekarang ini. Munculnya aliran modernisme dalam sejarah sastra
Indonesia sebenarnya berawal sejak tahun 1920-an. Waktu itu sastrawan-sastrawan
muda pada waktu itu siap untuk menulis dengan bahasa Melayu yang baik, yang
kemudian telah berkembang menjadi bahasa Indonesia dan tidak lama setelah itu
muncul sebuah pernyataan bangsa dalam Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa
mereka berbahasa yang satu, yaitu bahasa Indonesia. Sikpa mental pemuda bangsa
pada saat itulah yang disebut sebagai sikap mental modernisme. Sehingga saat
itu pula lahirlah Sastra Indonesia Modern.
Novel Jalan Tak Ada
Ujung (1952) karya Mochtar Lubis,
yang mengisahkan tentang kehidupan jiwa seorang guru yang senantiasa hidup
dalam ketakutan pada masa revolusi. Sikap berani yang ditunjukkan para
pengarang angkatan ’45 itu juga merupakan suatu konsep modernisme pada masanya.
Hal tersebut terus berkembang hingga akhirnya genre novel memasuki masa perkembangan yang signifikan atau bisa
dikatakan luar biasa pada sekitar dekade 70-an. Pada masa itu kesusastraan
mengalami masa yang subur. Jika dikaitkan dengan aliran posmo-modernisme,
mungkin pada dekade inilah konsep tersebut mulai berkembang. Aliran ini
berkembang untuk menciptakan iklim baru yang sebelumnya telah terpusat pada
aspirasi modernisme dengan cara merubah mendongkel kemapanan dan keterpurukan
dalam berbagai segi kehidupan (Darma,2007:211).
Adapula contoh lain yakni munculnya pengarang-pengarang
wanita, seperti Nh. Dini, M. Katoppo, La Rose, dan Marga T. merupakan pengarang
wanita dengan pandangan feminisme yang kuat. Kemunculan paham feminisme pada
karya-karya sastra periode 70-an merupakan bukti adanya postmodernisme. Melalui
karya sastra berbau feminisme itulah para pengarang wanita mencoba memperoleh
kemapanan dalam publik. Sikap pengarang yang seperti inilah yang disebut sebagai
postmodernisme.
5.
Jelaskan istilah-istilah di bawah ini!
a.
Cerpen Indonesia
Pada jaman Jepang cerpen tumbuh dengan subur.
Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara mengarang cerpen diadakan, dalam
majalah-majalah yang terbit saat itu seperti Pandji Poestaka, Djawa Baru, dan
lain-lain banyak diberi tempat.
Cerpen Indonesia mulai dimuat pada tahun 20-an
dalam majalah Pandji Poestaka yang
sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh
cerita rakyat yang lama yang terdapat di seluruh Indonesia seperti si Kabajan,
si Lebai Malang.
Penerbitan cerita-cerita pendek ini pula tidak
lepas dari peran Balai Pustaka yang pda tahun 1936 mulai menerbitkan
cerita-cerita pendek tersebut. Di antaranya cerita-cerita lucu yang ditulis
oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan
dengan judul Teman Duduk.
Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa, termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi, memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen. Oleh karena itu, tidaklah salah jika pernyataan Jacob Soemardjo dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975 menyebut bahwa tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya sekitar pada dekade 50-an. Ia menyatakan bahwa pada dekade 50-an merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia, karena pada masa itulah muncul pengarang dengan karya yang fenomenal seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lainnya. Pada cerpen tahun dekade 50-an temanya lebih banyak condong pada agama yang tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Hal tersebut membuat parasaan si tokoh menjadi liar, aneh, dan tak terduga.
Memasuki masa Orde
Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an pengarang seperti Putu
Wijaya, Danarto, dan Kuntowijoyo memunculkan karya-karya cemerlang sebagai
pembaruan bagi bentuk cerpen itu sendiri.
Cerpen-cerpen
Indonesia terus berkembang hingga era 2000-an dengan bentuk yang relatif sama
namun dengan eksplorasi/eksperimen dunia dan kisah yang terus berkembang. Seperti
Ahmad Tohari (misal, bereksplorasi dengan seting pedesaan atau tempat-tempat
yang jauh dari modernisme, Raudal Tanjung Banua yang sering memandang kepada
dunia mitos, Yosi Yonata yang membuka dunia yang belum pernah ditemui
sebelumnya, dan eksplorasi lain dari pengarang-pengarang sesuai pengembangan
diri masing-masing. Hingga saat ini cerpen sudah memiliki tempatnya sendiri
yang segaris dengan novel, prosa, maupun puisi.
b.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Pada pertengahan tahun
1946, atas usaha penyair Chairil Anwar almarhum, bertemu beberapa orang dari
pendiri-pendiri ‘Gelanggang”, Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar
Apin, Baharudin dan Henk Ngantung. Dalam percakapan pada waktu itu terasa
dengan terang, bahwa perjuangan Indonesia seharusnya dilakukan tidak saja
dilakukan di dalam lapangan politik, ketentaraan, ekonomi, tetapi juga di dalam
perjuangan kebudayaan. Justru perjuangan inilah yang tidak tampak nyata pada
waktu itu. Hal-hal itu menimbulkan cita-cita untuk mendirikan perkumpulan
“Gelanggang”. Dan mulai hari itulah dimulailah dengan usaha-usaha pertama,
mencari perhubungan dengan orang yang bisa mengisi cita-cita perkumpulan yang
belum nyata sifatnya.
Surat Kepercayan Gelanggang merupakan dokumen
pernyataan terbaik tentang cita-cita Angkatan 45. Dokumen ini juga merupakan
suatu pernyaataan yang retrosfektif, karena pada dokumen ini tercantum tanggal
18 Februari 1950, yaitu hampir setahun setelah meninggalnya Chairil Anwar, dan
baru diterbitkan pada tanggal 22 Oktober pada tahun itu juga dalam majalah Siasat.
Berikut adalah isi dari Surat Kepercayaan
Gelanggang:
Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah
kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata
karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis
kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh
wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama
sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan
kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai
rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk
suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai
baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat,
bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak
selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari,
membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling
(masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling
pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Teeuw (1980, 176-177) mengatakan bahwa
angkatan ini sebagai ahli waris kebudayaan dunia masih menduduki tempat yang
terpenting, sedang mereka menjadi seorang Indonesia semata-mata merupakan suatu
kebetulan saja. Dengan hal ini dihubungkan tiga perkara: 1) penolakan akan
kecendrungan untuk mempertahankan dan memuja zaman silam mereka sendiri,
semata-mata karena hakikat zaman silam itu kebetulan bersifat Indonesia; 2)
revolusi yang belum selesai, yang kemudian makin diutamakan bukan saja oleh
tokoh-tokoh kesusastraan, tetapi terutama oleh tokoh-tokoh politik yang penting
termasuk Presiden Soekarno sendiri; dan 3) hubungan dengan masyarakat atau
rakyat dapat kita sebutkan pernyataan rakyat.
Teeuw juga mengatakan unsur-unsur
kesejagatan yang merupakan tema utama dalam karangan ini sendiri kemudian dalam
praktek ternyata merupakan suatu kekeliruan, atau sekurang-kurangnya suatu
masalah. Semakin rapat hubungan para pengarang ini dengan ‘kebudayaan dunia’
semakin jelas bahwa di balik istilah yang satu ini terdapat bukan sedikit
gejala yang berbeda dan bertentangan; dan untuk membentuk kepribadian sendiri,
maka perlu dipilih beberapa aspek yang sesuai dan menolak aspek-aspek lainnya.
c.
Manifes Kebudayaan
Manifes Kebudayaan merupakan sebuah upaya
penolakan slogan Lekra, yaitu “Politik Sebagai Panglima”. Slogan tersebut
dirasa telah menggeser keberadaan seni dan sastra para seniman. Sastra menjadi tempat berkumpul
orang-orang yang hendak mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Manifes
Kebudayaan disusun dan ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis
Jakarta, antara lain: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini,
Goenawan Mohammad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.
Manifes kebudayaan ini diumumkan pada tanggal 17
Agustus 1963, dalam bukunya Rosidi (1969:18) menuliskan isi dari Manifes
Kebudayaan sebagai berikut:
·
Kami
para seniman dan tjendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes
Kebudajaan, jang menjalankan pendirian, tjita2 dan politik
Kebudajaan Nasional kami.
·
Bagi
kami kebudajaan adalah poerdjoangan untuk menjempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudajaan di atas sektor kebudajaan
yang lain. Setiap sektor berdjuang bersama-sama untuk kebudajaan jang lain.
Setiap sektor berdjuang bersam-sama untuk kebudajaan itu sesuai dengan
kodratnja.
·
Dalam
melaksanakan kebudajaan Nasional kami berusaha mentjipta dengan kesungguhan
jang sedjudjur-djudjurnja sebagai perdjoangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masjarakat bangsa2
·
PANTJASILA
adalah falsafah kebudajaan kami.
Djakarta ,17 Agustus 1963
Manifes ini segera
mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air. Para buudayawan, seniman, dan
para pengarang yang hidup terpencil di kota-kota lain dan yang selama itu hidup
dalam suasana mental di teror oleh Lekra. Maka segera mereka berlomba-lomba
menyatakan dukungan terhadap Manifes yang dipublisir pula melalu majalah Sastra
dan penerbitan-penerbitan lain yang dikuasai oleh para pendukung Manifes. Namun
di satu sisi adanya Manifes ini justru mempermudah Lekra untuk menghancurkan
dan orang-orang yang selama ini mereka anggap sebagai musuh.
Manifes kebudayaan segera dijadikan sasaran utama
Lekra. Ketika itu (surat kabar dan majalah, juga radio hampir seluruhnya
dikuasai oleh orang-orang PKI). Maka perspun digunakan secara beramai-ramai
untuk menghantam Manifes Kebudayaan.
Pihak Manifes pun
tidak tinggal diam. Mereka mempersiapkan sebuah konferensi yakni KKPI
(Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia), namun dalam prakteknya panitia
hanya mengutamakan para penandatangan Manifes saja dan dianggap gagal.
Konferensi berikutnya menghasilkan PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia). Sebelum PKPI berjalan, Soekarno telah mengeluarkan laranganakan ManifesKebudayaan.
Hal tersebut berakibat mundurnya anggota Manifes Kebudayaan dan memaksa pengarang-pengarang
menulis dengan nama samaran. Situasi tersebut membuat cirri khusus pada penulisan
karya sastra pada masa itu. Penulisan lebih bertema perlawanan terhadap penindasan
martabat manusia.
Ketika manifest kebudayaan dilahirkan, sejarah kebudayaan
kita yang berarti pula sejarah Revolusi nasional kita, telah menempuh sekian
tahun kehidupannya. Oleh sebab itulah sejarah Manifes Kebudayaan tersebut tidak
sekedar dimulai dari saat penulisan draftnya dipertengahan tahun 1963,
melainkan pada hakikatnya telah dimulai sejak karyawan-karyawan kebudayaan
dalam bertindak “mengalahkan alam dan zaman”, yakin bertindak secara kreatif
dengan meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara (Kratz, 2000:481)
d.
Maecenas Sastra
Dalam kamus istilah sastra (Zaidan,dkk.,
2007:124) maesenas adalah hartawan atau orang yang berkedudukan tinggi yang
berperan sebagai penaung atau melindungi dan membantu seniman dalam kegiatan
keseniannya. Istilah ini diambil dari nama pribadi seorang hartawan Romawi yang
terkenal sebagai sponsor kegiatan kesenian.
Adapun para maesenas sastra dari awal perkembangan Sastra
di Indonesia yaitu tidak lepas dari angkatan-angkatan dari periode-periode yang
berhasil menghasilkan dan menyebarluaskan karya-karya para sastrawan Indonesia
pada masanya dan manfaatnya pun masih bisa kita rasakan sampai sekarang.
Berikut ini beberapa para maesenas sastra yang telah
berjasa dalam perkembangan sastra Indonesia:
1.
Angkatan 20
(Balai Pustaka)
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai
Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada
tahun 1908. Badan tersebutsebagai penjelmaan dari Commissie
voor De Volkslectuur atau Komisi BacaanRakyat. Commissie
voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan
bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu.
Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi
menempuh beberapa cara, yaitu:
(1) Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita
rakyat atau dongeng-dongengyang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini
diterbitkan sesudah diubah ataudisempurnakan.
(2)
Menterjemahkan
atau menyadur hasil sastra Eropa.
(3)
Menerima karangan
pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengankeadaan hidup sekitarnya.
2.
Angkatan
33 (Pujangga Baru)
Nama
angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu
bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah
sebagai pelopor Pujangga Baru.
3.
Angkatan 45
Angkatan 45 disebut juga sebagai Angkatan
Chairil Anwar atau angkatankemerdekaan. Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi
adalah Chairil Anwar,sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah
Idrus. Karya Idus yangterkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah
4. Angkatan 66
Nama angkatan 66 dikemukakan oleh H.B.Jassin. Angkatan 66 muncul
di tengah-tengah keadaan politik
bangsa Indonesia yang sedang kacau. Kekacauan politik itu terjadi karena adanya teror PKI. Akibat kekacauan
politik itu, membuat keadaan bangsa Indonesia kacau dalam bidang kesenian dan kesusatraan. Akibatnya kelompok lekra di bawah PKI bersaing dengan kelompok
Manikebu yang memegang sendi-sendi kesenian, kedamaian,
dan pembangunan bangsa dan Pancasila.
Selain itu terdapat DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dari segi instansi
atau lembaga. Adapula, Kompas, Majalah Horison yang banyak menerbitkan
karya-karya para sastrawan dan banyak menghasilkan para sastrawan-sastrawan
baru misalnya melalui lomba-lomba dan penghargaan karya sastra yang mereka
adakan.
e.
Polemik Kebudayaan
Konsep tentang
kebudayaan nasional sebagai sesuatu yang umum dan daya pemersatu yang
mempertalikan segenap rakyat dari kawasan yang didefinisikan oleh negara-bangsa
merupakan motif umum dalam sejarah bangsa modern.
Kebudaayaan nasional
dipandang sebagai akibat dari perpaduan harmonis antara ‘nilai-nilai dari masa
lalu yang tetap bertahan’ dan pengaruh positif yang bisa saja berasal dari
kebudayaan asing dan ‘efek modernisasi’.
Sebagai bagian dari proses ini, bahasa, budaya, dan kesenian daerah dipandang
sebagai ‘bagian dari warisan nasional’ yang ‘memperkaya nuansa warna dalam
kesenian nasional yang pada dasarnya memang beragam dan pluralistik.
Namun sejalan dengan itu
banyak muncul kontradiksi tentang tradisi kebudayaan itu sendiri. Dilihat dari
fenomena mulai munculnya tradisi Barat yang umumnya lebih banyak mempengaruhi
golongan-golongan muda. Golongan-golongan tua ada yang berpendapat bahwa hal
tersebut akan menyingkirkan budaya sendiri yang harusnya di pertahankan sebagai
identitas bangsa. Namun adapula yang berpendapat berbeda.
Takdir Alisjahbana yang pro-Barat mengatakan bahwa
hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh Barat sepuas-puasnya sajalah kita
(bangsa Indonesia) dapat mengimbangi Barat. Tetapi pernyataan tersebut menuai
polemik dan akhirnya harus berhadapan dengan Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara
yang hendak mempertahankan tradisionalisme
karena dianggap sebagai kepribadian bangsa (Rosidi,1969:38). Disaat
kedua kubu tersebut berselisih, tetapi kedua belah pihak memiliki satu
pemikiran yang sama agar kebudayaan Indonesia yang beku bisa mencair, sehingga
bisa terus tumbuh dan berkembang dalam kesempurnaan. Polemik tentang kebudayaan
itulah yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dan diterbitkan
sebagai buku dengan judul Polemik
Kebudayaan (Rosidi,1969:38).
Polemik Kebudayaan merupakan salah satu judul buku yang
disusun oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 sesudah perang kemerdekaan.
Buku tersebut mengandung sumbangan dari St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir dan Ki
Hadjar Dewantara. Pada dasarnya problematika dasar yang dihadapi adalah adanya
silang pendapat antara generasi muda yang membentuk sikapnya sendiri dengan
menentang pendapat Takdir Alisjahbana. Kedua kubu tersebut berpolemik tentang
berbagai aspek masalah kebudayaan baru pada saat itu. Polemik yang mereka
hadapi merupakan adanya sebuah pernyataan unsur-unsur reaksi di dalam
lingkungan kebudayaan feodal yang sudah
beku tersebut.
Polemik Kebudayaan itu terjadi di dalam tahun-tahun
tigapuluhan –limapuluh tahun yang lalu- sehingga pembicaraan pada waktu itu
sudah didekati secara nyata lagi. Yang sulit dihidupkan lagi adalah ligkungan dan
suasana zamannya yang masih berada di dalam hubungan kehidupan penjajahan
Belanda, yang dalam beberapa hal tentu menentukan dan membatasi isi dan haluan
perdebatan yang sedang berlangsung (Kratz, 2000:812).
Budaya nasional memang
harus dipertahankan, namun bukan berarti kita menolak budaya luar selama itu
baik untuk perkembangan bangsa kita sendiri. Intinya ambil yang baik dan
tinggalkan yang buruk.
f.
Sastra Tersimpan dan Sastra Tersiar pada
Sastra Indonesia Zaman Jepang
Sastra Jepang memiliki corak yang beraneka ragam. Pada
dasarnya da dua macam sastra pada masa itu: (1) sastra yang tersiar dan (2)
sastra yang tersimpan.
Karya sastra pada
masa pendudukan Jepang sangat sulit tercipta. Hal itu disebabkan oleh kebijakan
pemerintah Jepang membentuk Keimin Bunka
Syidosy. Keimin Bunka Syidosyo dibentuk dengan tujuan mengevaluasi
karya-karya sastra rakyat yang tercipta pada saat itu. Karya-karya yang pada
saat itu muncul harus sesuai dengan harapan pemerintah jepang, yaitu mendukung
Negara Asia Timur Raya dan tidak membahayakan kependudukan Jepang di wilayah
nusantara. Karya-karya sastra yang tercipta pada saat itu sebagian tidak
sejalan dengan kepentingan pemerintah Jepang sehingga tidak lolos badan Keimin Bunka Syidosyo. Karya sastra yang
tidak lolos tersebut pada akhirnya disebut sebagai sastra tersimpan.
Selain sastra tersimpan, terdapat pula sastra
tersiar yang merupakan karya sastra lolos sensor Keimin Bunka Syidosy dan kemudian terbit. Beberapa contoh karya sastra tersiar antara lain Djengir Bali dan Tjinta Tanah Air oleh Nur
Sutan Iskandar, lalu ada juga novel Palawidja,
Roman Pantjaroba (1945) oleh Karim Halim, Djedjak Langkah (1953) yang merupakan roman Marxis karya Bakri
Siregar, terdapat pula beberapa drama modern seperti Lukisan Masa (1937) oleh Armijn Pane dan Manusia Baru (1940) oleh Sanusi Pane.
Menurut Sarwadi
(2004:123) Sastra yang tersiar maksudnya sastra yang berhasil disiarkan, baik
melalui majalah maupun melalui penerbitan tersendiri, sesudah mengalami sensor
pemerintah. Sastra yang tersimpan ialah sastra yan ditulis pada masa itu,
tetapi baru disiarkan sesudah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, mislanya
beberapa sktesa (lukisan) Idrus dalam corat-coret
di Bawah Tanah. Corak dua macam sastra tersebut sangat berbeda bahkan
sering tampak bertentangan. Selain itu, tiap macam sastra itupun masing-masing
memiliki variasi tersendiri.
Berdasarkan
kenyataan di atas, karakterisasi sastra Indonesia di masa Jepang dapat
dirangkumkan sebagai berikut.
1.
Umumnya sastra tersiar pada masa itu tidak terlepas
dari unsur tendens, yaitu tendens membantu perang Jepang, bahkan sering unsure
tendens itu begitu jelas sehingga berubah sifat menjadi propaganda. Tendens
demikian tampak pada dua novel yang terbit pada masa Jepang, yaitu Palawija karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan
Iskandar.
2.
Sastra tersiar yang tidak mengandung tendens, umumnya
menyatakan maksud isinya dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian dari
realitas kehidupan yang pahit, misalnya “Dengan Keluhan Pohon Mangga” dan
“Tinjaulah Dunia Sana”, keduanya karangan Maria Amin. Juga cerpen Bakri Siregar
yang berjudul “Burung Balam” dan “Turunan”, dapat dipandang bersifat simbolik
karena keduanya berlaku dalam dunia binatang. Pelarian ke tempat terpencil,
misalnya tampak pada beberapa cerpen Bakri Siregar yang berjudul “Di Tepi
Kawah” dan “Di Balik Bukit”, sedangkan pelarian kepada Tuhan tampak misalnya
pada puisi-puisi Bahrum Rangkuti. Berikut ini adalah kutipan alinea terakhir
“Dengan Keluhan Pohon Mangga”.
O,
Tuhan, kalau pohon mangga pandai berbicara tentu dia akan bercerita apa yang
telah dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya
mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.
3. Sastra
tersimpan umumnya berupa sastra kritik yang berisi kecaman dengan sindiran
terhadap ketidakadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sejarah kehidupan
suatu bangsa ternyata bahwa sastra kritik selalu timbul apabila tidak ada
keserasian dalam tata kehidupan bangsa itu; misalnya tidak ada kecocokan antara
janji dan slogan-slogan dari penguasa dengan kenyataan yang sebenarnya, perbedaan
yang terlalu jauh antara si kaya dan si miskin, pembatasan dan penyelewengan
hak-hak asasi manusia, tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, dan
sebagainya. Wujud sastra kritik ini dapat bermacam-macam; misalnya dalam bentuk
satire, baik yang sinis maupun yang bersifat humor, simbolik, atau langsung
berupa kritik lugas. Satire yan sinis misalnya berupa sketsa-sketsa Idrus dalam
Corat-Coret di Bawah Tanah.
4.
Genre sastra yang dominan pada masa Jepang yaitu bentuk
puisi, cerpen, dan drama. Perkembangan yan mencolok di antara ketiga bentuk itu
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yaitu bentuk drama. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra
Indonesia belum pernah terjadi kehidupan drama sesubur masa Jepang.
5.
Dibandingkan
dengan corak sastra sebelumnya yang umumnya masih bersifat romantic-idealisme,
sastra masa Jepang lebih bersifat realistis (romantic-realistis). Hal ini disebabkan
corak romantik pada masa itu langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang
pahit, yang penuh dengan penderitaan. Beberapa contoh sastra yang bersifat
realistis itu misalnya beberapa sketsa Idrus, cerpen-cerpen Amal Hamzah, dan
lain-lain.
Seperti telah disebutkan beberapa contoh di atas, buku sumber
tentang sastra di masa Jepang tidak banyak. Namun H.B. Jassin menyusun sebuah
antologi Kesusastraan Indonesia di Masa
Jepang, dari sinilah dapat diperoleh bahan-bahan tentang
pengarang-pengarang masa Jepang dan hasil karangannya. Selain itu, H.B Jassin
juga menyusun suatu antologi lain yang berjudul Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi 1942-1948, yang di dalamnya termuat
juga beberapa hasil karangan yang ditulis di masa Jepang. Adapula antologi yang
diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1946 yang berjudul Pancaran Cita.
Beberapa pengarang di masa Jepang diantaranya yaitu Rosihan
Anwar. Rosihan Anwar termasuk seorang pengarang yang tidak terpengaruh oleh
propaganda Jepang sejak permulaan. Cerpennya yang terkenal yang berjudul Radio Masyarakat mengisahkan tentang
kehidupan seorang pemuda yang terombang-ambing jiwanya karena tidak dapat
menyesuaikan diri dengan semangat baru para pemuda pada waktu itu. Walaupun ia
memperoleh suntikan-suntikan semangat dari seorang dokter, ia dalam
kebimbangan. Akhirnya, ia pergi bekerja ke Palembang untuk mendapatkan
ketentraman hati.
Maaf mbk k,ada daftar pustakanya?
BalasHapusMembantu banget 🙏
BalasHapusTerimakasih🙏🏻
BalasHapusHow to play roulette, get free spins & a bonus - JTM Hub
BalasHapusRoulette is another 서울특별 출장안마 popular 울산광역 출장샵 casino game in which you play 익산 출장샵 the most 광주광역 출장샵 popular European Roulette variant. The casino has the 강원도 출장마사지 option of making bets,