1.
Dalam kesusastraan Indonesia, sejak Balai
Pustaka sampai sekarang karya sastra selalu mendapat tanggapan pembaca.
Tanggapan mereka selalu berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala
harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep dari periode ke periode. Kemukakan
pendapat saudara terhadap fenomena hal tersebut disertai contoh kasus!
Pembicaraan mengenai kesusasteraan
Indonesia tidak dapat terlepas dari periodisasi sastra Indonesia. Periodisasi adalah
proses mengurutkan atau mengkategorikan beberapa karya sastra sesuai rangka waktu
melalui ciri-ciri khusus tiap periode. Susunan periode-periode dikatakan seperti balok-balok batu yang dideretkan
yaitu periode satu diganti periode yang lain dengan batas tegas. Akan
tetapi, hal itu tidak berlaku mutlak,
periode-periode itu saling bertumpang tindih sebab sebelum periode angkatan
sastra yang satu habis atau lenyap sudah timbul angkatan sastra yang lain,
bahkan pada periode itu angkatan sastra yang lama masih menunjukkan kekuatannya
atau integrasinya. Bahkan, bila dibuat irisan penampang pasa satu periode (sincronis cross section), mungkin dalam
satu periode berdampingan tiga atau empat angkatan yang masing-masing
menunjukkan ciri-ciri sastra yang berbeda. Akan
tetapi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodesasi yang
satu dengan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia modern
sejaktahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun ’30, tahun ’45, dan tahun ’66 sebagai tonggak
– tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya berkisar pada masalah
istilah dan peranan tahun 1942 dan 1950 dalam perkembangans astra Indonesia.
Menurut Sarwadi (2004:18-19), ada beberapa macam
periodisasi yang pernah dikemukakan orang, yang satu berbeda dengan yang lain.
Pangkal perbedaan itu terutama ialah:
1) Tidak adanya kesamaan istilah yang dipergunakan.
Istilah-istilah yang biasa dipakai misalnya angkatan, periode dan generasi;
2) Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap
istilah-istilah tersebut. Tentang apa yang disebut angkatan, banyak perbedaan
pendapat. Rumusan Pramudya Ananta Tur berbeda dengan rumusan Asrul Sani,
berbeda pula dengan rumusan Rachmat Djoko Pradopo, Ajip Rosidi dan sebagainya;
3) Tidak adanya kesamaan nama yang
dipergunakan untuk menyebut suatu angkatan atau suatu periode. Ada yang memakai
angkat tahun, ada yang memakai nama badan penerbit, nama majalah, nama buku,
dan sebagainya;
4) Tidak adanya kesamaan sistem yang
dipergunakan. Ada yang menunjuk satu angka tahun, misalnya angkatan 20, dan ada
pula yang menunjuk jangka waktu dari dua
angka tahun, misalnya periode tahun ’20 hingga tahun ’30.
Hal
tersebutdapatdilihatdalambeberapacontohperiodesasi di bawahini.
·
Periodisasisastra Indonesia menurut H.B. Jassin
:
1.
SastraMelayu Lama
2.
Sastra Indonesia Modern
a.
Angkatan‘20
b.
Angkatan‘33
atauPujanggaBaru
c.
Angkatan‘45
mulaisejak 1942
d.
Angkatan‘66
mulaikira – kiratahun 1955
·
Periodesasisastra Indonesia menurutAjipRosidi
1.
Sastra Nusantara Klasik
(sastradariberbagaibahasadaerah
di Nusantara)
2.
Sastra Indonesia Modern
a.
MasaKelahiran (MasaKebangkitan)
1. Periodeawal
– 1933
2. Periode
1933 – 1942
3. Periode
1942 – 1945
b.
MasaPerkembangan
1.
Periode 1945 – 1953
2.
Periode 1953 – 1961
3.
Periode 1961 – sekarang.
Sebuah karya sastra tak cuma menampakkan wajah yang sama kepada setiap
pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi
yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada pembaca-pembacanya (Jauss,
1974:14; Pradopo, 2011:9).
Jauss (1974:14; Pradopo, 2011:9) mengatakan bahwa sejarah sastra merupakan
sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan
teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus, dan
penulis dalam kreativitas sastra.
Adanya perbedaan tanggapan para pembaca itu disebabkan oleh apa yang
disebut horison harapan atau cakrawala harapan. Setiap pembaca itu mempunyai
konsep-konsep tertentu atas karya sastra disebabkan oleh pengalamannya,
pendidikan sastra, dan bacaan-bacaan sastranya, kecakapan atau kemampuan
pemahamannya atas norma-norma sastra dan pemahaman kehidupan (Segers, 1978:41;
Pradopo, 2011:9).
Yang
dimaksud dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu
keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepi pembaca
terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:206). Keindahan yang sampai pembaca
mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizonatau
horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang
pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:207).
Tiap pembaca mempunyai wujud karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya
sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian
tertentu mengenai sebuah karya sastra baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang
pembaca “mengharapkan” bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan
pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra
seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra
antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda.
Segers (1978:41; Pradopo, 2011:208) mengemukakan bahwa cakrawala harapan
itu ditentukan oleh tiga kriteria; pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca
oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh
pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yan telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan
kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horison “sempit”
dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang
kehidupan.
Cakrawala harapan penting untuk sebuah karya
sastra. Hal ini untuk mengetahui apakah sebuah karya sastra teruji waktu atau tidak.
Karya-karya yang memiliki bobot, unsure estetis, dan beberapa faktor lain yang
tinggi akan tetap diperbincangkan, dibaca, ataupun dibahasoleh orang yang
berada pada waktu/era berbeda. Karya-karya yang teruji oleh waktu biasanya berupa
karya sastra serius. Contoh karya–karya tersebut di antaranya roman SittiNurbaya karya Marah Rusli, Belenggu
karya Armijn Pane, Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, dan beberapa lainnya.
Novel belenggu merupakan salahs atu novel
yang teruji waktu.Novel tersebut pada masa awal terbit mengalami problematika karena
faktor-faktor nilai dalam masyarakat yang masih terlalu tinggi. Novel ini dilarang
peredarannya karena novel ini dianggap terlalu porno. Pada masa sekarang, Belenggu tidak lagi dianggap novel yang
porno karena nilai-nilai dalam masyarakat telah bergeser dari masa ke masa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa periodisasi
sangat berpengaruh besar dalam hal memunculkan cakrawala harapan dari para
pembaca karya sastar itu sendiri. Karena tiap periode memiliki konsep dan ciri
khasnya masing-masing.
2. Apa yang saudara ketahui tentang fenomena Roman Picisan à Novel Pop! Untuk fenomena novel pop kemukakan penyebab timbulnya,
tipologi, contoh-contohnya/karya beserta pengarangnya, perbedaannya dengan
novel serius/sastra, bandingkan juga dengan chiklit,
teenlit, momlit, dan hal-hal lain yang masih bisa/ada kaitannya dengan
fenomena novel pop tersebut!
Roman adalah bentuk
sejarah Eropa yang tumbuh subur sekitar abad ke-18 dan ke-19. Bentuk ini
ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak dalam prosa, melainkan
juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Muh
Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain, banyak menulis soneta, yaitu bentuk puisi
yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan Belanda.
Barulah pada tahun
1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi,
yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab
dan Sengsara. Dua tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi
klasik Sitti Nurbaja karangan Marah
Rusli. M.Kasim menulis Muda Teruna
dan Nur Sutan Iskandar dengan mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1922) (Rosidi,
1969:5).
Sastra periode
tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang
diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan
yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra
penerbitan Medan.
Seri cerita-cerita
roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam suatu seri dengan
nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman,
dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama,
dan lain-lain.
Dalam bahasa
Belanda ada istilah stuiversroman,
yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasai
Indonesia. Keduanya menunjuk pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau
kurang berharga; walaupun istilah yang dipergunakan berbeda (stuiver = 5 sen;
sepicis = 10 sen).
Roman picisan
adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau
novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian
sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di
kota-kota besar terutama di daerah Sumatra Timur. Akan tetapi, tidak berarti
bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa
hal penyimpangan itu selalu ada.