Rabu, 11 Juli 2012

Teori Prosa

TUGAS UJIAN AKHIR SEMSETER GENAP
ANALISIS TOKOH DAN WATAK (KARAKTER)
CERITA PENDEK ‘IA MASIH KECIL’
Karya: W.S Rendra
Oleh: Ilfat Isro’i Nirwani
NIM: 11/318600/SA/16120
Jurusan: Sastra Indonesia

1.    Latar Belakang
Kata fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Inggris fiction. Sementara itu, kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio. Kata fictio itu sendiri berasal dari kata kerja fingere, fictum, yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to fashion, to form, dan kadang-kadang feign (Shipley, 1970:119; Pujiharto, 2010:4).

Selasa, 10 Juli 2012

Linguistik: Fonologi

Berhubung setelah UAS gue gag ada kerjaan, mending posting ilmu-ilmu yang pernah gue dapet selama semester 2 kuliah Jurusan Sastra Indonesia di UGM buat kalian semua... (Heaahh bangga ^_^)
1.        Peran Utama Ejaan Bagi Pemakai Bahasa
Sabagai alat untuk berkomunikasi, bahasa harus mampu menampung perasaan dan pikiran pemakainya, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti antar penutur dengan pendengar atau antara penulis dengan pembacanya. Merupakan serangkain bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar, berarti hanya manusia yang dalam keadaan sadarlah yang dapat menghasilkan bunyi yang disebut bahasa (Santoso,  1990:1)
Ejaan ialah pelambangan fonem dengan huruf, aturan tentang bagaimana satuan-satuan morfologi dituliskan, dan atau aturan tentang bagaimana menuliskan kalimat dan bagian-bagiannya dengan pemakaian tanda-tanda baca.
Soal ejaan  bukanlah soal yang sukar. Sekali kita menguasai cara menuliskan katau atau kalimat dengan baik, seterusnya kita tidak akan membuat kesalahan-kesalahan. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk memberikan perhatian terhadap cara penulisan yang benar, apalagi bila pekerjaan kita dalam bidang tulis-menulis. Tanpa mempelajarinya dengan sengaja, kita tidak akan pernah menguasainya dengan baik  (Badudu, 1986:99).

Monggo: Hasil UAS Sejarah Sastra Ane gan!


1.    Dalam kesusastraan Indonesia, sejak Balai Pustaka sampai sekarang karya sastra selalu mendapat tanggapan pembaca. Tanggapan mereka selalu berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep dari periode ke periode. Kemukakan pendapat saudara terhadap fenomena hal tersebut disertai contoh kasus!
Pembicaraan mengenai kesusasteraan Indonesia tidak dapat terlepas dari periodisasi sastra Indonesia. Periodisasi adalah proses mengurutkan atau mengkategorikan beberapa karya sastra sesuai rangka waktu melalui ciri-ciri khusus tiap periode. Susunan periode-periode dikatakan seperti balok-balok batu yang dideretkan yaitu periode satu diganti periode yang lain dengan batas tegas. Akan tetapi,  hal itu tidak berlaku mutlak, periode-periode itu saling bertumpang tindih sebab sebelum periode angkatan sastra yang satu habis atau lenyap sudah timbul angkatan sastra yang lain, bahkan pada periode itu angkatan sastra yang lama masih menunjukkan kekuatannya atau integrasinya. Bahkan, bila dibuat irisan penampang pasa satu periode (sincronis cross section), mungkin dalam satu periode berdampingan tiga atau empat angkatan yang masing-masing menunjukkan ciri-ciri sastra yang berbeda. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodesasi yang satu dengan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia modern sejaktahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun ’30, tahun ’45, dan tahun ’66 sebagai tonggak – tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya berkisar pada masalah istilah dan peranan tahun 1942 dan 1950 dalam perkembangans astra Indonesia.
Menurut Sarwadi (2004:18-19), ada beberapa macam periodisasi yang pernah dikemukakan orang, yang satu berbeda dengan yang lain. Pangkal perbedaan itu terutama ialah:
1)   Tidak adanya kesamaan istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah yang biasa dipakai misalnya angkatan, periode dan generasi;
2)   Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut. Tentang apa yang disebut angkatan, banyak perbedaan pendapat. Rumusan Pramudya Ananta Tur berbeda dengan rumusan Asrul Sani, berbeda pula dengan rumusan Rachmat Djoko Pradopo, Ajip Rosidi dan sebagainya;
3)   Tidak adanya kesamaan nama yang dipergunakan untuk menyebut suatu angkatan atau suatu periode. Ada yang memakai angkat tahun, ada yang memakai nama badan penerbit, nama majalah, nama buku, dan sebagainya;
4)   Tidak adanya kesamaan sistem yang dipergunakan. Ada yang menunjuk satu angka tahun, misalnya angkatan 20, dan ada pula yang  menunjuk jangka waktu dari dua angka tahun, misalnya periode tahun ’20 hingga tahun ’30.
Hal tersebutdapatdilihatdalambeberapacontohperiodesasi di bawahini.
·      Periodisasisastra Indonesia menurut H.B. Jassin :
1.    SastraMelayu Lama
2.    Sastra Indonesia Modern
a.    Angkatan20
b.    Angkatan33 atauPujanggaBaru
c.    Angkatan45 mulaisejak 1942
d.   Angkatan66 mulaikira – kiratahun 1955
·      Periodesasisastra Indonesia menurutAjipRosidi
1.    Sastra Nusantara Klasik
(sastradariberbagaibahasadaerah di Nusantara)
2.    Sastra Indonesia Modern
a.    MasaKelahiran (MasaKebangkitan)
1.    Periodeawal – 1933
2.    Periode 1933 – 1942
3.    Periode 1942 – 1945
b.    MasaPerkembangan
1.    Periode 1945 – 1953
2.    Periode 1953 – 1961
3.    Periode 1961 – sekarang.
Sebuah karya sastra tak cuma menampakkan wajah yang sama kepada setiap pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada pembaca-pembacanya (Jauss, 1974:14; Pradopo, 2011:9).
Jauss (1974:14; Pradopo, 2011:9) mengatakan bahwa sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus, dan penulis dalam kreativitas sastra.
Adanya perbedaan tanggapan para pembaca itu disebabkan oleh apa yang disebut horison harapan atau cakrawala harapan. Setiap pembaca itu mempunyai konsep-konsep tertentu atas karya sastra disebabkan oleh pengalamannya, pendidikan sastra, dan bacaan-bacaan sastranya, kecakapan atau kemampuan pemahamannya atas norma-norma sastra dan pemahaman kehidupan (Segers, 1978:41; Pradopo, 2011:9).
Yang dimaksud dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepi pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:206). Keindahan yang sampai pembaca mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizonatau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2011:207).
Tiap pembaca mempunyai wujud karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang pembaca “mengharapkan” bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda.
Segers (1978:41; Pradopo, 2011:208) mengemukakan bahwa cakrawala harapan itu ditentukan oleh tiga kriteria; pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yan telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Cakrawala harapan penting untuk sebuah karya sastra. Hal ini untuk mengetahui apakah sebuah karya sastra teruji waktu atau tidak. Karya-karya yang memiliki bobot, unsure estetis, dan beberapa faktor lain yang tinggi akan tetap diperbincangkan, dibaca, ataupun dibahasoleh orang yang berada pada waktu/era berbeda. Karya-karya yang teruji oleh waktu biasanya berupa karya sastra serius. Contoh karya–karya tersebut di antaranya roman SittiNurbaya karya Marah Rusli,  Belenggu karya Armijn Pane, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar,  dan beberapa lainnya.
Novel belenggu merupakan salahs atu novel yang teruji waktu.Novel tersebut pada masa awal terbit mengalami problematika karena faktor-faktor nilai dalam masyarakat yang masih terlalu tinggi. Novel ini dilarang peredarannya karena novel ini dianggap terlalu porno. Pada masa sekarang, Belenggu tidak lagi dianggap novel yang porno karena nilai-nilai dalam masyarakat telah bergeser dari masa ke masa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa periodisasi sangat berpengaruh besar dalam hal memunculkan cakrawala harapan dari para pembaca karya sastar itu sendiri. Karena tiap periode memiliki konsep dan ciri khasnya masing-masing.

2. Apa yang saudara ketahui tentang fenomena Roman Picisan à Novel Pop! Untuk fenomena novel pop kemukakan penyebab timbulnya, tipologi, contoh-contohnya/karya beserta pengarangnya, perbedaannya dengan novel serius/sastra, bandingkan juga dengan chiklit, teenlit, momlit, dan hal-hal lain yang masih bisa/ada kaitannya dengan fenomena novel pop tersebut!
Roman adalah bentuk sejarah Eropa yang tumbuh subur sekitar abad ke-18 dan ke-19. Bentuk ini ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak dalam prosa, melainkan juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Muh Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain, banyak menulis soneta, yaitu bentuk puisi yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan Belanda.
Barulah pada tahun 1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi, yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara. Dua tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi klasik Sitti Nurbaja karangan Marah Rusli. M.Kasim menulis Muda Teruna dan Nur Sutan Iskandar dengan mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1922) (Rosidi, 1969:5).
Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan.
Seri cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam suatu seri dengan nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain.
Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasai Indonesia. Keduanya menunjuk pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau kurang berharga; walaupun istilah yang dipergunakan berbeda (stuiver = 5 sen; sepicis = 10 sen).
Roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di daerah Sumatra Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa hal penyimpangan itu selalu ada.